Wednesday, December 23, 2009

Sang Pemimpi




Sang Pemimpi, berteriaklah hai sang pemimpi, kita takkan berhenti disini...

(2009, Miles Films & Mizan Productions, Riri Riza. Lukman Sardi, Vikri Setiawan, Ahmad Syaifullah, Azwir Fitrianto. Drama 120 min)

This movie is a sequel to “Laskar Pelangi”, and I take that a sequel is-usually-not better than the first movie. Namun perlahan-lahan pemikiran tersebut pun sirna. Mulai muncul kata-kata “sang pemimpi bagus kok”, “better than laskar pelangi!”, “gue ngantuk pas nonton LP, tapi nonton ini gue enjoy-enjoy aja”. Dan setelah selesai menonton filmnya, oke. Gue suka film ini.

Sang pemimpi masih bercerita tentang Ikal (Lukman Sardi) yang bercerita tentang masa lalunya dari kecil (Zulfanny) setelah cerita Laskar Pelangi hingga remaja (diperankan oleh Vikri Setiawan). Di film Laskar Pelangi diceritakan di akhir bahwa Ikal telah kembali dari Sorbonne, Prancis ke pulau Belitung dan bertemu dengan sahabat kecilnya, Lintang. Namun memang jeda antara Ikal kecil dan saat itu sangat besar. Tapi memang tampaknya Tetralogi ini memuat itu semua. Ikal ditemani Arai (Ahmad Syaifullah)-saudara Ikal yang kehilangan ayahnya dan akhirnya tinggal bersama Ikal- dan Jimbron (Azwir Fitrianto)adalah tiga remaja yang memiliki mimpi yang tinggi dan usaha untuk mencapainya. Ketiganya jelas menghadapi rintangan yang berbagai macam, baik personal dan bersama, dengan Arai sebagai pusatnya, yang menjadi inti dari film ini, sebagai Sang Pemimpi.

Ceritanya menyentuh, karena memang cerita ini dibuat se-membumi mungkin. Plotting naratif yang khas seperti di Laskar Pelangi membuat cerita ini seakan-akan mengalir tanpa jeda. Gue bener-bener mengerti cerita dari Sang Pemimpi ini. Dari review-review yang udah gue baca dan sumbernya dari orang yang pernah baca novelnya, film Sang Pemimpi nyaris tidak mengecewakan sama sekali, cenderung lebih banyak mendekati ekspektasi.

Kesedihan dan kegembiraannya terasa, karena akting yang ekspresif, aktual dan mantap dari aktor-aktor muda berbakat yang memainkan pemeran ketika remaja. Pendalaman ketiga karakternya sangat mempengaruhi cerita yang masuk ke dalam otak gue. Mulai dari Jimbron yang gagap dari ngomong sampe kelakuan tapi mulai lancar kalau berhubungan sama Laksmi, sampai Arai yang bener-bener ngga pernah kehilangan keyakinan dalam berimpian serta Ikal yang terus memiliki keraguan dalam hatinya tentang hidup.

Dengan setting Indonesia tahun 80-90-an, Sang Pemimpi menurut gue bisa ngebawa gue berada dalam dunia pada waktu itu. Dimana rasanya kendaraan sulit, teknologi masih susah, dan kebodohan masih benar-benar merajalela. Pengkarakteran yang stabil dalam film ini (kecuali ketika Arai dimainkan oleh Ariel) bikin kita ngga merasa aneh dengan pergantian pemain untuk karakter yang sama. Solid. Kelakar-kelakar yang mungkin lokal dan Indonesia banget, juga banyak mengena dalam film ini.

Adegan favorit gue di film ini adalah ketika bapak dan ibu Ikal menerima surat di akhir, ketika akhirnya gue sadar ternyata ada sesuatu di karakter si bapak sampai akhirnya harus ibu-lah yang membaca surat. Juga ketika Ikal menyusuri ladang ilalang untuk menyusul ayah juara satu di dunia. Adegan itu bikin hati gue sesek karena *curcol* gue masih terus mengecewakan orang tua dengan hasil kuliah. Mudah-mudahan berubah.

Masa muda adalah masa yang berapi-api, kata Rhoma Irama. Sang Pemimpi berhasil membawakan sosok pemuda Indonesia yang mau bermimpi dan berani mewujudkan mimpinya sekuat tenaga dan usaha, yang meskipun sempat mengenal lelah, tetapi akhirnya tidak mengenal kata berhenti. Sang Pemimpi was one of my Indonesian’s Favourite, it got 8,5 out of 10!

No comments:

Post a Comment