Thursday, June 24, 2010

Martyrs

Martyrs, they did not finish to be alive...

(2008, Canal Horizons, Pascal Laugier. Morjana Alaoui, Mylene Jampanoi, Catherine Begin. Slasher thriller 99 min)

Martyrs adalah film dengan rasio 1 : 10. Bukan perbandingan pixel seperti 16 : 9 tapi. For every 10 minutes of torture, there’s only one minute of rest. Makanya 1:10. Mungkin terasa lebay, tapi memang rasanya kalo disiksa itu terasa lama, dan ketika istirahat, terasanya sangat sebentar. Relative.

Martyrs bercerita tentang penyiksaan. Seorang gadis kecil yang disiksa berhasil melepaskan diri dari tempat penyiksaan dengan menyisakan luka batin yang amat dalam. Lucie (Mylene Jampanoi) mengalami trauma akannya dan sering didatangi makhluk menyeramkan yang ingin menyerangnya. Bersama Anna (Morjana Alaoui), Lucie dibesarkan di orphanage dan diberikan hidup yang normal. Ketika dewasa, Lucie membalas dendam kepada keluarga yang katanya menyiksa dia waktu kecil dan minta bantuan kepada Anna. Setelah itu, ia menemukan misteri dibalik penyiksaan-penyiksaan yang ia lalui.

Inti film ini adalah torture, penyiksaan. Tapi mungkin Martyrs adalah salah satu dari sekian banyak film thiller yang membawa sebab-akibat yang jelas di awal dan di akhir. Sadistis dan gila, memang. Namun setelah dipikir-pikir melalui akal sehat, semuanya akan mulai masuk akal.

Thrill di film ini dimulai sejak 10 menit pertama film ini dimulai. Tidak menggunakan terlalu banyak introduksi dan karakter, dan tidak banyak basa-basi. Banyak sekali darah tertumpah di film ini sejak awal. Banyak juga bagian dalam tubuh yang terekspos mulai kulit sampai dalamnya.

Film ini sangatlah memuakkan bagi yang tidak kuat darah, namun mungkin untuk beberapa orang yang cukup psycho, memiliki sedikit kelainan kejiwaan, film ini sangatlah enjoyable. Untuk pecinta serial Saw mungkin.

Alur filmnya cukup membingungkan, meski kita bisa membedakan yang mana ketika sedang flashback dan mana yang bukan. Meski memberikan fakta-fakta menarik tentang masa lalu Lucie, terkadang flashbacknya cukup tidak jelas apa bentukannya.

Soal pemain, mungkin penghargaan akan gue kasih buat pemain Lucie dan Anna. Mereka berdua memainkan kedua peran ini dengan sangat bagus. Teriakan demi teriakan, sayatan demi sayatan, derita demi derita, sangat gue terima dalam-dalam. Apalagi ketika pisau dan dinding menghujam tubuhnya. Apalagi ketika ia melakukannya sendiri.

Mungkin sedikit keanehan terletak pada inti filmnya. Inti cerita martyrs hanya terletak pada 30 menit terakhir saja. Satu jam di awal lebih banyak pada penyiksaan dan penyiksaan saja. Namun hebatnya, semuanya terungkap dalam 30 menit itu. Resolusi demi resolusi tercapai sampai klimaksnya terjadi di ending.

Secara keseluruhan, martyrs sangat patut ditonton untuk pecinta darah dan penyiksaan. Memberikan thrill dan knowledge yang berbeda dari film-film thriller lainnya dari psikopat ataupun pembalasan dendam. It got my own 8 out of 10!

Nampaknya saja juga termasuk psikopat yang suka film seperti ini

Thursday, June 17, 2010

Iron Man 2

Iron Man 2, new challenge, new machines...

(2010, Paramount Pictures, Jon Favreau. Robert Downey Jr, Mickey Rourke, Scarlett Johansson, Gwyneth Paltrow, Don Cheadle. Action 124 min)

Manusia setrika! Bukan! Manusia Besi! Ga enak! Iron Man! Iron Man 2! Iron Man nya ada 2? Bisa dibilang betul! Iron Man 2 adalah film sequel Iron Man, dimana di film ini muncul partner Iron Man dalam membasmi kecoa, eh, kejahatan, yaitu War Machine.

Hal-hal yang gue suka dari film ini masih tetap sama, dan rasanya belum akan berubah. Masing berkutat di sekitar teknologi permesinan dalam film ini, segala kedetailan dan semua kekerenan yang ada. Film ini benar-benar menawarkan sekali lagi teknologi yang sangat ingin disentuh oleh semua manusia, yaitu packing energi yang kecil namun hasil yang besar. What a revolution of mind.

Ceritanya masih ga jauh dengan pertama, Iron Man beraksi karena reaksi. Dalam film ini, Tony Stark (Robert Downey Jr) telah mencapai kondisi yang buruk karena efek dari Paladium Core yang ia gunakan sebagai pengisi energi kostum Iron Man dan menghindari jantungnya dari serpihan nuklir (seperti Iron Man pertama). Lalu muncullah Whiplash, atau Ivan Vanko (Mickey Rourke), seorang jenius yang memiliki blueprint energy core seperti yang digunakan Tony dan membuatnya menjadi senjata whip yang di “lash lash”. (okay that was lame). Bila di akhir film pertamanya Tony membuka jati diri Iron Man, di film ini dia memamerkan Iron Man dan segala yang dimili Stark Industry dalam Stark Expo. Disini muncullah saingan Stark Industry, yaitu Hammer Industry, dan tentunya pemerintahan AS yang menginginkan kostum Iron Man. Dengan akhirnya menghasilkan Rhodey (Don Cheadle) sebagai War Machine. Cukup banyak ceritanya. Cukup mengesankan dan menghibur menurut gue, meski banyak yang bilang ga sebagus film yang pertama, namun gue tetep suka film ini.

Di film kedua ini, teknologinya semakin gila. Makin banyak gadget-gadget yang dipamerin disini, termasuk koper ajaib. Jon Favreau berhasil membuat gue terpukau dengan memamerkan teknologi teknologi impian yang gaada habisnya dalam film ini. Dan juga berhasil sedikit mengocok perut dengan jadi supir pribadi Tony dan Potts.

Ngomong-ngomong Tony dan Potts, bagi anda yang menonton trailernya dan melihat adegan cium helm, maaf sekali karena adegan itu tidak ada dalam filmnya. Sangat disayangkan. Padahal, adegan itu akan sangat menguatkan bumbu-bumbu cinta antara Tony Stark dan Pepper Potts (Gwyneth Paltrow). Tapi, kehadiran Scarlett Johansson sebagai Black Widow sangat menghibur, karena banyak sekali adegannya yang memukau, baik dalam berkelahi maupun adegan yang kocak.

Adegan perangnya cukup seru, meski tidak terlalu beda dengan yang pertama. Namun sekarang lumayan banyak adegan tembak-tembakan sambil terbang. Dan juga rada tidak deg-degan karena sudah jelas bakalan menang. Namanya juga film superhero, pastilah. Yang menarik adalah adegan ketika pengembangan War Machine, dan keluarnya senjata “Ex Wife” dari Hammer Industries. Kocak dan benar-benar bermakna, meskipun sepertinya ini hanya sebuah sentilan sindiran kecil saja.

Akting semua orang oke! Apalagi Scarlett Johansson yang baru datang dalam film ini. Tentu saja Samuel L Jackson yang menjadi Nick Fury (yang hanya muncul kurang dari 1 menit di film pertama, di ending pula) sangat menentukan dan jadi kunci di film ini. Kunci lain di film ini adalah Rodney (Don Cheadle), yang merupakan kunci berbeda, tidak seperti Samuel L Jackson menjadi pemain kunci, dia malah menjadi juru kunci dari aktor yang ada di film ini. Sebenarnya aktingnya cukup bagus meski agak kurang meyakinkan. Tapi menurut gue, salahnya ada di Iron Man pertama yang maenin karakter Rhodey si Terrence Howard yang cukup berbeda karakternya dengan Don.

Yang menakjubkan dan menyebalkan sekaligus dari film ini adalah penciptaan Starkium (ya, saya ngasal), elemen baru yang diciptakan Tony Stark. Apa? Semudah itu? Cih. Semua orang tahu kalau saat ini namanya saja LARGE Haldron Collider atau LHC, jadi tidak mungkin sekecil itu. Yah tapi demi film yang oke, dimungkinkan saja kejeniusan itu. Tapi, gue tetep takjub dengan penggunaan si komputer sentah sentuh gesar geser ngomong njeplak, si Jarvis. Hebat dan supercool, kalo menurut gue.

Last words, Iron Man 2 sangat patut ditontont, apalagi untuk penggemar Marvel. Karena disini cukup terbuka tabir-tabir Iron Man yang baru dan banyak hal juga cerita ditawarkan disini. Iron your clothes, look out for those iron, watch and see Iron Man 2!

Di akhir credit title, ada sedikit klip yang menjelaskan penemuan dari…

Pedangnya Cloud Strife dari Final Fantasy VII :D

Karate Kid

The Karate Kid, prepare to learn what you’d never expected...

(2010, Christopher Murphey, Robert Mark Kamen. Jaden Smith, Jackie Chan, Zhenwei Wang, Wenwen Han. Action Drama 140 min)

The Karate Kid (atau ketika nonton filmnya akan sangat lebih cocok dengan kungfu kid) adalah film remake dari film dengan judul sama di era 80-an. Awalnya mengira film ini akan sangat sarat komedi dan penuh dengan kebodohan seperti karate kid jaman dulu. Memang, banyak komedinya. Tapi tak disangka tak dinyana, jauh lebih banyak adegan action dan dramanya ketimbang komedi seperti karate kid jaman dulu.

Film ini bercerita tentang Dre Parker (Jaden Smith), bocah kulit hitam yang pindah ke China bersama ibunya dan mengalami homesick dan tidak ingin tinggal di China. Bersamaan dengan kesialan demi kesialan yang terjadi pada kehidupannya di China, Dre bertemu dengan maintenance man Mr. Han (Jackie Chan). Selain bertemu teman baru, Mei Ying (Wenwen Han), Dre juga bertemu dengan musuh baru, Cheng (Zhenwei Wang), seorang bully di sekolahnya. Cerita dari film ini simpel, mudah dimengerti. Tanpa twist-twist tak disangka, namun adegan yang membuat penonton biasanya tetap menganga.

Adegan laga dalam film ini sangat powerful. Mungkin dibandingkan menonton Tekken yang dari berbagai review orang mengecewakan, mixture antara gerakan kungfu timur dengan anak kecil dari barat cukup memukau. Apalagi efek ideologi Jackie Chan yang mempermudah mengerti tentang film ini. Sayangnya adegan laga terbaik menurut gue bukanlah adegan laga dari Dre, meski memang sungguh magnificent. Tapi adegan laga saat Jackie Chan pertama kali, benar-benar karakterisasi film Jackie chan, dan hanya satu kali dalam film.

Soal akting, aktor aktor di film ini sangat patut diacungi dua jempol. Jaden Smith sangat berhasil berperan sebagai spoiled-city-kid yang sangat terganggu dengan pindahya keluarganya ke China. Jackie Chan yang sangat jarang memerankan peran serius pun berhasil memberikan maintenance sepanjang film kepada aksi-aksi Dre maupun Mr. Han. Sayangnya, peran Wenwen Han menjadi Mei Ying cukup mengganggu di awal. Karakterisasi yang sebenarnya sudah bagus agak menjadi mengganggu ketika Mei Ying berlaku jittering di tengah-tengah film. Pengembangan karakternya bagus. Memang besar hanya berfokus pada Dre dan Mr. Han. Pengembangannya terpisah per bagian, namun memang bagian itu untuk digunakan lagi di akhir-akhir film.

Yang paling hebat dalam film ini adalah Cheng. Muka super-annoying yang dia punya sangat membuat merasa annoyed. Sepanjang film, gue merasa “muka ni bocah cocok banget sama perannya. I wonder how he live in his usual life having face like that.”.

Seperti biasa, ada aja yang aneh dalam film. Adegan romantis yang ga diperluin ketika nonton wayang sungguh cukup mengganggu, mengingat film ini untuk semua umur. Tapi adegan romantis favorit di film ini ketika Dre ketemu bapaknya Mei Ying di rumah. Sungguh fun yet touching.

Overall, film ini dapet rating 7/10 dari gue. Karena dari plotting dia mengakhiri film ini di waktu yang tepat setelah klimaksnya. Apalagi buat yang suka film laga timur plus komedi yang sudah lama hengkang dari perfilman dunia, inilah film yang tepat buat anda!

Life will bring you down. It’s your choice whether to get back up or not.

So does watching movie :D

Tuesday, June 15, 2010

Alice in Wonderland in Burtonmode


Alice in Wonderland, You’ve got a very important date...

(2010, Walt Disney Pictures, Tim Burton. Mia Wasikowska, Johnny Depp, Helena Bonham Carter, Anne Hathaway, Crispin Glover. Fantasy 108 min)

Curiouser, curiouser. Ya, Alice in Wonderland yang sebenarnya dulu belum pernah novelnya gue baca secara sempurna meski punya hard kopi dan soft kopi nya, film kartunnya belum sempat ditonton meski sudah masuk rotasi ruang santai, dan memang feature-feature menarik yang mempengaruhi banyak sekali film. Semua itu bikin gue curious akan film ini. Tapi hanya satu kata yang dapat menggambarkan Alice in Wonderland setelah gue menontonnya.

Hollow. Ya, kosong. Entah mungkin film ini bukan tipe film gue, tapi notabene film-film yang gue bilang bagus adalah film yang bisa membawa gue nonton sampe akhir dan merasa berbeda setelah keluar dari bioskop. Alice in Wonderland mendapat rekomendasi tinggi dari beberapa temen yang memang biasanya seleranya sama, more or less, meski gue sendiri lebih jarang nonton film disbanding mereka. Tapi dengan ekspektasi yang tinggi akan cerita-cerita dan fantasi yang aneh, Alice in Wonderland ternyata tidak sanggup menggapai ekspektasi yang udah gue bikin.

Alice in Wonderland arahan Tim Burton ini menceritakan kembalinya Alice (Mia Wasikowska) yang sudah dewasa ke wonderland, (yang entah kenapa jadinya underland?) setelah sebelumnya dilamar oleh seorang lord yang kaya di dunia nyata dan kabur dari menjawab. Di underland dia bertemu Mad Hatter (Johnny Depp) dan koleganya untuk bersatu melawan Red Queen (Helena Bonham Carter) dan ajudannya Stayne (Crispon Glover) di hari Frabjous, dimana di hari itu Red Queen dan White Queen (Anne Hathaway) akan bertarung untuk memperebutkan tahta di underland.

Where should I start? Alice di film ini terlihat seperti cewek bodoh yang linglung dan berjalan kesana-kemari hanya sesuai hati. Mungkin gue ga baca novelnya dan gatau sebenernya Alice seperti apa. Mudah-mudahan ternyata memang dalam novel pun karakter Alice seperti itu. Namun sejak awal seperti banyak sekali keanehan pada si Alice ini. Tapi sekali lagi mungkin karena karakterisasi dari Tim Burton memang seperti itu, Alice cenderung bukan seperti seorang Alice yang wondrous, tapi betul-betul underous (bahkan underous sama sekali bukan sebuah kata). Dimana sepanjang film dia akan terlihat murung, meskipun sebenarnya dia lagi senang.

Johnny Depp, lebih-lebih lagi, tidak tergambar karakter ekstrim dari kata MAD hatter. Dalam film ini justru lebih cenderung seperti SAD hatter. Tidak kurang dan tidak lebih. Tapi sekali lagi mungkin memang seperti itulah karakterisasi oleh Tim Burton. Mari lupakan Anne Hathaway yang memerankan White Queen yang gemulai. Selain perannya memang sedikit, karakternya justru terlalu kuat sebagai ratu yang terlalu lemah lembut meski memegang teguh satu janji.

Sebaliknya, Helena Carter memerankan Red Queen’s “Off with their heads”! Dengan sangat menarik. Meski jujur gue agak terganggu dengan inproporsional dan bluffing nya agak sedikit terlihat di awal film. Tapi diluar itu semua, aktingnya luar biasa dan perannya dapat. She’s so high of herself and her ego. Yang dengan bodohnya hubungannya dengan Stayne berakhir aneh akibat ulahnya sendiri. Orang-orang aneh di sekitar Red Queen pun cukup meyakinkan dan selalu ada meski hanya sekilas. Namun seperti tertekankan bahwa itu juga termasuk inti dari cerita ini.

Ceritanya punya twist yang cukup aneh, dimana twist-twist tersebut tidak dibuat sebagai twist. Seperti ketika Alice bertemu Red Queen pertama kalinya, dan adegan perang di Frabjous Day. Meskipun begitu, cerita Alice ini memang berbeda dari novelnya ataupun animasi sebelumnya, baik Alice in Wonderland maupun Through the Looking Glass, karena memang screenplay dan cerita ini diadaptasi oleh Linda Woolverton dari cerita originalnya Lewis Carroll. Tapi meski belum pernah membaca atau menonton cerita aslinya, sedikit-sedikit akan tahu ini siapa dan kenapanya, karena memang ada sedikit flashback-flashback.

Tapi tetap, Tim Burton memang raja dalam exploitasi makeup. Makeup dalam film ini luarbiasa, meski (tetap) makeup White Queen ga enak dilihat, tapi tetap menguatkan karakter di film ini. Dan dari situ malah memang menguatkan karakterisasi yang memang dibuat oleh Tim Burton disini, seperti Alice yang underous tadi dan sad Hatter.

Overall, Alice in Wonderland tetap menjadi film yang layak tonton. Meski mungkin akan terasa sedikit kosong dan hanya oh ya oh ya setelah menonton, masih memungkinkan anda akan suka film ini. Bergantung dari tipe film seperti apa yang anda suka. Tapi percayalah, when Tim Burton meets Alice, it would be the Frabjous day without Jabberwocky or Vorpal sword either. We won’t know who wins. So, watch it!

Friday, June 11, 2010

Exam

Exam, How far would you go to win the ultimate job...

(2009, Bedlam Productions, Stuart Hazeldine. Luke Mably, Chukwudi Iwuji, Jimi Mistry, John Lloyd Filingham, Adar Beck. Thriller 101 min)

Exam. Gue nonton film ini di laptop, setelah ngunduh 15 menit di rileks karena tertarik dengan 3 hal. Judulnya yang supersimpel, sinopsisnya yang menarik, dan event yang terjadi dalam sinopsisnya. Tadinya mengira film ini adalah film tentang ujian anak sekolah dari judulnya. Setelah melihat posternya, mengira filmnya tentang pengujian dengan metode penyiksaan. Setelah baca sinopsisnya, semakin tertarik ketika membaca blank paper.

Exam bercerita tentang 8 orang yang berasal dari kalangan yang berbeda, dengan masing-masing memiliki jalur pemikiran dan skill yang berbeda-beda. Begitu juga dengan ras masing-masing. 8 orang terpilih ini adalah orang-orang yang berhasil melewati segenap tes dan harus mengikuti tes akhir untuk masuk sebuah perusahaan. Tes akhirnya menyelesaikan soal dalam 80 menit dengan aturan tertentu. Dan kedelapan orang tersebut terkejut ketika membalik kertas ujiannya… it's just blank.

Film ini menarik dengan caranya sendiri. Exam hanya menggunakan satu set ruangan persegi panjang untuk membuat film berdurasi 101 menit ini. Memang cukup lama karena 80 menit yang digunakan untuk ujian seperti sedang kita alami juga. 5 menit didepan untuk penjelasan, dan 15 terakhir untuk konklusi. Meskipun begitu, alurnya tidak terasa lama. 101 menit yang berjalan terasa cukup cepat karena dibalut dengan adegan-adegan fast-paced, obrolan-obrolan yang smart, dan fakta-fakta menarik tentang hal yang tidak penting. Tapi entah kenapa menarik.

Exam menggunakan 8 karakter peserta tes. Empat pria yaitu White (Luke Mably), Black (Chukwudi Iwuji), Brown (Jimi Mistry), dan Deaf (John Lloyd Filingham), lalu empat wanita, Dark (Adar Beck) dan tiga wanita lainnya, Blond, Brunette, dan (mungkin) Yellow. Diluar itu hanya karakter Invigilator dan Guard saja. Cukup sedikit untuk sebuah feature film, namun cukup banyak untuk film dengan feature satu set. Pengembangan karakternya tidak berkembang terlalu banyak, dikarenakan banyaknya karakter yang menjadi fokus utama, menjadikan kita sulit untuk menebak-nebak akhir ceritanya seperti apa. Yang jelas adalah White yang annoying, Black yang plin-plan, Brown yang cool dan secretive, Deaf yang autis, dan Dark yang serba-tahu. Selain kelima orang diatas, Brunette dan Blond juga memiliki perkembangan karakter sedikit meskipun tidak banyak.

Hebatnya, film ini sama sekali tidak menggunakan artis super terkenal untuk menjualnya, hanya sebuah cerita yang hanya cukup kompleks. Plot cerita yang simpel diputar di banyak titik cerita. Sejak awal pun untuk meretas konflik awal menggunakan twist yang cukup membuat gue tertarik untuk tetap menonton film ini sampai habis.

Smart is the new sexy, kata-kata ini keluar tampaknya beberapa tahun yang lalu, jadi mungkin bukan the newest sexy saat ini. Tapi Exam cukup smart dalam membuat permainan kata-kata dan situasi. Meski tidak membuatnya sexy (karena itu frase beberapa tahun lalu mungkin), namun seperti tadi, twist-twist yang keluar sangat powerful untuk bikin kaget. Genre-nya thriller. Tapi gue sendiri ngga merasa thrilled banget, meskipun sempet beberapa saat merasa suspensed. Tapi memang bukan film action apalagi drama.

Di film ini, Black, Dark, dan beberapa orang lainnya menggunakan ilmu pengetahuan yang mereka tahu, baik umum maupun spesialisasi dalam pressured life time, dimana hal tersebut sedikit menyadarkan gue kalo mengerti secara bener apa yang lo pelajari itu memang ada pentingnya. (rasanya bodoh memang kalo baru sadar sekarang). Dikemas dengan bahasa yang gampang dimengerti, jadinya ya cukup jelas dan informasinya nyampe.

Adegan favorit gue di film ini ada banyak! Pertama ekspresi semua orang ketika tahu kondisi kertas tesnya, lalu adegan penemuan lampu, penemuan mati-nyala-nya lampu, dan adegan tembak-menembak. Yang paling favorit di endingnya sebenarnya. Tapi ga seru kalo diceritain :D.

Tapi tetep aja, tiada gading yang tak retak. Dunia yang sedang diciptakan dalam film ini kurang kuat, mungkin karena memang hanya berfokus pada satu ruangan saja. Sehingga beberapa opini atau fakta dalam film yang ada terkesan dipaksakan. Lalu, dominasi adegan sering terjadi disini. Ketika White bercuap-cuap terus, ketika Brown menguasai kondisi, selalu saja berfokus hanya kesana, tidak memperlihatkan seperti apa kondisi yang lainnya. Deaf yang memegang peranan cukup penting hanya diperlihatkan sedikit-sedikit saja di sela-sela film.

Overall, Exam bagus untuk ditonton apalagi buat yang suka one-set-film dan many-character-development. Mungkin tipikal phonebooth, tapi genrenya suspense thriller. Seperti Ocean’s Eleven, (tapi hanya delapan), tapi tidak terlalu meluas kemana-mana. Yang penting, gue suka film ini karena plottingnya yang rapi dan twist-twist yang muncul dimana-mana.

What will you do if you found out that your exam is…

A blank paper?

Wednesday, June 9, 2010

Alice in Wonderland in Technicolor!

Alice in Wonderland, curiousity leads to curiouser...

(1951, Walt Disney Production, Clyde Geronimi, Wilfred Jackson, Hamilton Luske. Kathryn Beaumont, Ed Wynn, Verna Felton, Bill Thompson. Fantasy 75 min)

Film ini adalah film kartun yang tua, usianya hampir 50 tahun, hampir 2,5 kali lipat umur gue sendiri. Dibuat tahun 1951, Alice in Wonderland jadi salah satu kartun yang legendaris di dunia dan ceritanya termasuk tak lekang oleh zaman. Daya tarik ceritanya membuat banyak sekali cerita, baik film, komik, maupun drama mengikuti dan mengambil porsi dari Alice in Wonderland ini.

Alice in Wonderland bercerita tentang Alice, seorang anak orang kaya yang bosan ketika sedang diberi pelajaran privat oleh gurunya, dan menemukan seekor kelinci yang terlambat mendatangi sesuatu. Alice mengikuti kelinci tersebut dan akhirnya terdampar di Wonderland. How wondrous this Wonderland is? Jawabannya ada di film. Benar-benar wondrous seperti yang dijabarkan Alice di awal film mengenai Wonderland miliknya.

Alice in Wonderland termasuk salah satu kartun yang menarik untuk ditonton, sayangnya buat gue, gue kurang berhasil dalam menyimaknya. Beberapa cerita harus gue ulang untuk gue mengerti maksudnya apa. Bahkan terkadang sampai kebosanan karenanya. Dalam film ini, gue sempet tertidur tiga kali dalam dua hari nonton yang berbeda, masing-masing sekali percobaan nonton.

Bila ditelusuri dan dipahami, alur ceritanya sangat-sangat menarik, ditambah gue nontonnya setelah nonton Burton’s Alice yang notabene merupakan lanjutan cerita dari Alice in Wonderland ini. Yang akhirya menyebabkan banyak sekali pembandingan-pembandingan yang gue lakukan ketika menonton. Baik cerita maupun alurnya memiliki kekonsistenan, yaitu absurditas. Nampaknya tidak seperti kartun Disney lainnya, Alice in Wonderland bermaksud untuk menyampaikan berbagai hikmah tanpa secara gamblang. Banyak sekali simpang-siur ceritanya disini.

Seperti yang kita tahu, atau bisa dibaca di review gue mengenai Burton’s Alice, kedua film ini adalah dua film yang berbeda. Baik dari segi cerita maupun karakterisasi. Mungkin memang dalam film yang barunya, banyak karakterisasi yang merupakan interpretasi baru Burton mengenai karakter tersebut, sehingga terjadi beberapa perbedaan yang cukup signifikan. Diantaranya Mad Hatter, Chesire Cat, dan Alice sendiri. Disini Alice benar-benar menunjukkan sifat curious nya kepada hamper segala hal. Mad Hatter dan teman-temannya benar-benar gila, dan Chesire terlihat lebih tidak jelas.

Soal karakterisasi, selain Alice, karakter lain yang ada di film ini cukup kuat meski hanya mendapat peran sedikit. Seperti Chesire Cat, White Rabbit, Mad Hatter and the tea party, Tweedle Dee dan Tweedle Dum, bahkan si red queen sendiri. Yang anehnya gue bahkan baru tau kalo ternyata ada King of Heart.

Tapi tenang, meskipun Alice in Wonderland berbeda dalam mengusung cerita, Alice in Wonderland tetap memegang Disney secara kultural. Alice in Wonderland adalah film kartun musical juga yang memainkan banyak musik dan lirik yang enormous dan mesmerizing. Sangat cocok dengan suasana meriah ala Disney Classic yang bahkan bisa merubah omongan dan obrolan dapat menjadi nyayian.

Last but not least, Alice in Wonderland (1951) adalah salah satu film kartun terbaik yang pernah ada di dunia ini. Cerita yang tak lekang oleh waktu dan banyak mengilhami orang ini patut ditonton dan diapresiasi secara mendalam. I recommend you to watch this!

Sunday, June 6, 2010

Gamer!

Gamer, who's playing you?

(2009, Lionsgate, Mark Neveldine, Brian Taylor. Gerard Butler, Amber Valletta, Michael C. Hall, Logan Lerman. Action 95 min)

Gamer? Game? Mainan? Sebagai seorang gamer dan pecinta film, gue rasanya akan sangat tertarik melihat dua kombinasi tersebut. Baik game yang dijadiin film, maupun film yang dijadiin game (Cuma untuk opsi kedua udah terlalu sering dikecewakan, jadi ga terlalu berharap). Tapi ini judulnya gamer, bukan Resident Evil atau Final Fantasy. Lantas, hubungannya apa?

Gue bahkan nonton ini secara ga sengaja, masuk ke ruang santai unit gue(LFM. -red) dan melihat ada film lagi dimulai, baru 3 menit jalan tau-tau udah adegan tembak-tembakan dengan crosshair dan segala atribut yang ada di game. Gimana ga tertarik? Adegan-adegan fast-paced seperti ini juga bisa ditonton di filmnya duet Mark Neveldine-Brian Taylor yang lain, Crank dan Crank 2:High Voltage.

Gamer bercerita tentang sebuah dunia yang dikuasai oleh perusahaan pembuat game, Ken Castle (Michael C. Hall). Dimana dia membuat dua game, simulasi dan first person shooter. Yang menarik, yang lo maenin disini adalah orang beneran. John Tillman (Gerard Butler) adalah salah seorang narapidana yang diikutkan dalam program Slayer (game yang FPS) dengan alias Kable, dimainkan oleh Simon (Logan Lerman), bocah kaya berusia 17 tahun. Sedangkan Angie(Amber Valletta) adalah orang yang dimainkan untuk permainan simulasinya. Seperti apa mainnya? Nonton aja.

Yang membuat gue terus bertahan adalah teknologi yang dipamerkan didalam film ini, bener-bener futuristik. Imajinasi gamer yang ada seperti sedang dikabulkan dalam film ini. Terus juga brutalitas dalam film ini yang cukup mesmerizing (buat gue), ketika kepala bocor, ketembak, badan ancur. Hal-hal itu bukannya jadi jijik tapi menakjubkan buat gue (dengan hasil bertanya-tanya apakah gue sudah beranjak menjadi psycho).

Meski bisa dibilang ceritanya biasa aja, so-so, tapi karena packaging nya yang emang bener-bener dreams come true banget, gue bener-bener semangat nonton film ini sampe abis. Alur ceritanya ga terlalu susah untuk ditebak asal mau mikir, siapa aja yang bakal mati, bakal ngga. Meski twist di akhir cerita memang sangat mengagetkan menurut gue. Fufufu.

Kalo diperhatiin, misalnya dalam cerita gamer ini cuma dimasukin salah satu game aja, ceritanya masih tetep bisa tamat lho. Entah kenapa buat gue dengan adanya dua game ini, seperti ada dua cerita yang berbeda dan ga begitu berhubungan. Dan gaming-nya emang ga terlalu dibahas banget disini. Meski seperti yang gue elu-elukan daritadi, imajinasi seorang gamer tampaknya akan terpuaskan dalam film ini.

Soal akting, Gerard Butler emang tiada duanya buat maenin peran-peran seperti ini. Meski tetep aja dia juga cocok buat peran seperti di PS.I Love You, tapi peran yang gore, brutal, bloody, raging kaya gini bener-bener optimal buat seorang Gerard Butler. Tapi menurut gue, the man of the match bukan dia. Tapi justru musuh besarnya, si Michael C Hall yang memerankan Ken Castle! Dia berhasil memerankan Ken Castle dengan karakternya yang “Hey you’re super annoying you spoiled rich bastard!” kalo kata gue.

Oh! Ada beberapa adegan semi-nudity di film ini, meskipun dengan kontras yang aneh, rasanya orang ga akan merasa apa-apa liatnya. Yang ada malah jijik. Ngomong-ngomong jijik, buat gue adegan paling jijik adalah ketika tau siapa yang maenin Amber. Pengen muntah liatnya. Yah, no film is perfect, so does this one. Toh adegan itu juga untuk melengkapi filmnya aja kan.

Buat Gamer, gue mengacungkan satu jempol buat film ini! Layak banget ditonton kalo punya waktu luang dan pengen gila-gilaan sesaat. Apalagi udah capek abis main CS atau The Sims, boleh juga main ini untuk menyegarkan pikiran dan mengembangkan impian.

Who’s playing? You?

3 Idiots

3 Idiots, Chase excellence, and success will follow behind...

(2009, Vidhu Vinod Chopra, Rajkumar Hirani. Aamir Khan, Kareena Kapoor, Boman Irani. Drama Comedy, 163 min)

Film India notabene berisikan cerita-cerita klise, joget-joget ga makna, dan efek-efek sedih (meski Indonesia lebih parah). Identik dengan inspektur Vijay, polisi yang pasti terlambat datang, atau juga raungan anak tiri. There’s no single expectation in watching 3 Idiots. Liat posternya pun malah bikin mikir ulang, mau nonton apa ngga. Gue dari dulu belum pernah suka film India. Bahkan Kuch Kuch Hota Hai atau Kabi Kushi Kabi Gham yang orang bilang bagus, gue ga suka. Tapi setelah munculnya Slumdog Millionaire, harapan demi harapan pun muncul, seperti ketika menonton Petualangan Sherina, saat film-film Indonesia mulai bermunculan kembali kualitasnya (film, bukan sinetron).

3 Idiots tidak menceritakan tentang kisah sedih tiga orang idiot yang dibully, atau tiga orang pintar pura pura bodoh, dan bukan juga mengenai tiga orang yang pintar jadi bodoh atau sebaliknya. 3 Idiots menceritakan tentang trilogi masa muda, yaitu Buku, Pesta dan Cinta. Tapi tentu saja, istilah itu akan semakin membaurkan definisi judul 3 Idiots yang sedang gue berikan. Intinya adalah Raju dan Farhan, dua orang sahabat sedang mencari sahabatnya, Rancho, yang menghilang setelah lulus kuliah. Saat kuliah mereka bertiga adalah sobat kental, tiga orang yang berlaku bak idiot yang kehidupan di kampusnya penuh warna. Dipersenjatai slogan “Aal iz well, Aal iz welldan kepositifannya, Rancho sedikit banyak memiliki pengaruh dalam hidup orang-orang di sekitarnya.

Standing applause adalah sesuatu yang menurut gue pantas gue berikan untuk scriptwriter film ini. 3 jam bukanlah waktu yang sedikit untuk memutarkan sebuah film, namun klimaks demi klimaks disampaikan di waktu-waktu yang tepat dan berhasil mempermainkan perasaan gue. Adegan sedih yang bercampur tawa, seperti ketika adegan memperkenalkan keluarga Raju dan Farhan, juga lelucon-lelucon smart yang dilontarkan pemain-pemain di film ini. Cerita dari film ini berbeda, meski benar adanya bahwa garis besar cerita-ceritanya klise. Namun sulit dipungkiri bahwa pengemasan cerita yang menggunakan kultural India dan mengambil sisi kemahasiswaan ini mampu memberikan emosi-emosi yang berbeda pada setiap penontonnya.

Buat gue, sutradara film ini tampaknya berhasil membuat pemain-pemain film ini berjalan sesuai porsinya. Hanya saja memang seperti kebanyakan film India lainnya, ada saja adegan adegan dan lawakan lokal. Meski dalam film ini jumlahnya tidak banyak. Tapi semua akting pemainnya benar-benar meyakinkan. Apalagi banyak karakter-karakter yang ekstrim. Seperti karakter Virus yang benar-benar strict hingga akhirnya crack, atau karakter Rancho yang benar-benar membuat kita berpikir he really have had a joyful life.

Efek-efek dan suara di film ini juga mendukung, tidak ada efek yang tidak berarti. Karena justru rasanya efek di film ini (kecuali efek terbang) hanya sedikit dan memang digunakan untuk mendukung kebodoran suasana.

Banyak sekali pesan moral yang gue pribadi dapatkan di film 3 Idiots ini. Bagaimana seharusnya belajar, bagaimana seharusnya mengajar, toleransi terhadap sesama, kepedulian, keberanian, dan banyak lagi. Film ini benar-benar sebuah film yang mencontohkan pendidikan, sebobroknya pendidikan seperti apapun tetap diberikan solusinya. Tidak seperti kebanyakan sinetron Indonesia yang memamerkan keburukan sistem pendidikan kita dan menambah buruk citra saja, tanpa sedikitpun memberikan sebuah sistematisasi yang solutif kedepannya.

3 Idiots masuk ke daftar wajib tonton, apalagi anda mahasiswa, apalagi mahasiswa yang sedang butuh motivasi untuk bergerak maju, apalagi selama ini sempat mengecewakan orang-orang disekitar. Tetapi sebenarnya siapapun anda, apabila membutuhkan sebuah dorongan atau motivasi, cukup habiskan waktu anda paling banyak 3 jam untuk nonton film ini dan meresapi artinya dalam-dalam.

We all know, salt water is a good conductor of electricity. We study it at twelfth class. He applied it. J