Tuesday, November 6, 2012

Requiem for a Dream




Requiem for a Dream, Lux Aeterna reveals her true self...

(2000, Artisan Entertainment, Darren Aronofsky. Ellen Burstyn, Jared Leto, Jennifer Connelly, Marlon Wayans. Drama 102 min)

Ketika semua orang bersenang-senang nonton summer movies keluaran terbaru, sebut saja Skyfall, saya malah terdiam dirumah dan memutuskan untuk akhirnya membuka file yang nganggur di laptop, sebuah file berekstensi mkv berjudul Requiem for a Dream. Film ini saya saksikan melewati panas dan hujan di dalam kamar, sehingga tingkat fokus saya menonton cukup tinggi. Meskipun sayangnya, saya harus melalui satu kali pause panjang selama satu hari untuk menyelesaikan filmnya.

Mrs. Goldfarb atau Sara Goldfarb(Ellen Burstyn), kerap disapa Ma oleh anaknya sendiri, Harold Goldfarb, atau Harry(Jared Leto), adalah seorang TV Junkie yang sudah sangat berumur, hidup sendirian setelah ditinggal mati suaminya. Mengakibatkan tidak bisa mengasuh Harry dengan baik. Harry berteman dengan Tyrone(Marlon Wayans) yang adalah seorang pecandu, dan (soon to be dalam film) pengedar. Tentu saja sebagai vantage point of interest, Harry memiliki seorang kekasih bernama Marion(Jennifer Connelly) yang adalah anak hasil broken home, dan memilih masa depan independen bersama Harry disbanding masa depan terjamin akan hasil hidup orang tuanya.

Sara Goldfarb mengawali "transformasi" nya

Cukup bercerita hingga titik diatas, film ini menceritakan mengenai penghantaran kepada sebuah mimpi. Sesuai judulnya, Requiem for a Dream, ketidakjelasan akan memasuki alam mimpi akan diiringi oleh banyak hal yang menghantui. Setidaknya itulah interpretasi saya akan judul Requiem for a Dream. Dengan plot cerita yang linear dan tidak menyembunyikan apa-apa, film ini berhasil memberikan saya thrill yang jarang sekali didapat ketika nonton film drama. Cerita diatas pun tersajikan secara mano a mano, atau terbawakan langsung dari karakter ke penonton melalui adegan dalam film.

Dibawakan oleh Darren Aronofsky yang ternyata 8 tahun setelah film ini merilis The Wrestler (nominasi untuk 2 kategori Oscar) dan 2 tahun setelahnya merilis Black Swan (dinominasikan untuk Best Motion Picture of the Year, Best Achievement in Directing dan 2 kategori lain, serta memenangkan kategori Best Performance by an Actress in a Leading Role), film ini menurut saya sangat menyayat jiwa, sedikit menyakiti hati, menggedor kekuatan iman, dan menggoyahkan sedikit raga (saya aja sih nontonnya sering nahan napas).

Salah satu adegan dalam "proses pemakaian"
Kepiawaian Darren terlihat dari racikan seluruh elemen film yang digunakan untuk membuat Requiem for a Dream. Terutama  aksi Ellen Burstyn patut diacungi jempol (yang membuatnya masuk jadi nominasi Oscar) terlihat sepanjang film, karena ada “diferensiasi” antara karakter Sara di awal film hingga ke akhir film. Jared Leto dan Marlon Wayans tidak memiliki spesialisasi khusus, namun mereka berdua berakting baik mengingat Marlon Wayans jarang sekali main film drama dan Jared Leto jarang sekali bermain sebagai aktor utama. Tentu saja Jen Connelly patut mendapat apresiasi khusus karena di film ini sebagian perasaan sakit akan datang dari karakter Sara dan Marion.

Kepuasan saya dalam menonton film ini tidak berhenti hingga akting saja, namun sinematografinya sungguh memukau bagi film drama dengan pemilihan tempat yang notabene banyak sekali ruang tertutupnya. Penggunaan gear kamera, lensa, dan efek yang tepat serta pemotongan adegan adegan ketika proses pemakaian membuat film tidak melulu lambat seperti tipikal film drama, namun juga tidak cepat karena terlalu banyak cerita yang ingin dimasukkan. Menurut saya, Requiem for a Dream secara sinematografi memberikan keleluasaan untuk penonton menginterpretasikan shot-shot “neural” yang diberikan, sehingga ada kesempatan untuk merasakan “mood” di tengah-tengah film. Favorit saya adalah adegan Sara dan kulkasnya mendekati akhir film. Pengambilan benar-benar berganti sesuai urusan masing-masing dan feel yang dihantarkan sangat kentara, memainkan perasaan saya yang lagi nonton. Tetapi memang harus hati-hati nontonnya, untuk orang yang memang paranoid saya rasa film ini bisa menimbulkan ketakutan baru karena efeknya yang cukup disturbing.

Fly high to the moon, romantic but tragic
Tak berhenti sampai di pengambilan gambar, justru yang ingin saya sorot adalah kemunculan scoring “Lux Aeterna”, yang mengiringi film sepanjang 102 menit ini.  “Lux Aeterna”, atau setelah tahun 2003 lebih dikenal dengan “Requiem for a Tower” karena digunakan dalam trailer Lord of the Ring: The Two Towers, adalah scoring yang dark, secara kata-kata akan sulit dijelaskan, namun akan membuat detak jantung naik dan membawa pemikiran ke arah tidak enak, setidaknya itu yang saya rasakan ketika Lux Aeterna terputar di film ini. Dibawakan oleh Kronos Quartet dan dikomposisikan oleh Clint Mansell. Selain LOTR, digunakan juga dalam trailer Da Vinci Code, Babylon A.D, I Am Legend, dan beberapa film lainnya.

Secara pribadi, ada pesan-pesan yang saya dapatkan setelah menonton film ini, yang bersangkutan dengan addiction, khususnya drugs addiction. Tapi tentu akan nggak asik kalo saya kasitau pesannya disini, jadi mending nonton aja filmnya. I simply worship this movie, so I give it 9,5 out of 10 for everything it has. Watch it if you must, and stay out of drugs!

No comments:

Post a Comment