Saturday, March 17, 2012

Mata Tertutup (2012)

Mata Tertutup, ucapkan basmalah dan yakinkan hati, untuk menontonnya...

(2012, SET Film & Maarif Production, Garin Nugroho. Jajang C Noer, Eka Nusa Pertiwi. Drama 90 min)

Dua kesalahan saya dalam menonton film ini. Yang pertama saya ternyata pernah jadi orang yang cukup mengerti bagaimana seluk-beluk perekrutan sebuah organisasi terkait dalam film ini dan cara menghindarinya. Yang kedua saya sendiri jujur masih kurang paham mengenai agama yang saya anut, apalagi agama orang lain sehingga terkadang film religi tentang fanatisme akan kurang berpengaruh pada saya. Seperti halnya film religi Tanda Tanya (2011, Hanung Bramantyo).

Mata Tertutup, dengan judul bahasa inggrisnya Blindfold (sumber IMDb), menceritakan tiga kisah dalam satu film berdurasi 90 menit. Cerita pertama (berdasarkan ingatan, tidak berdasarkan tingkat kepentingan cerita ataupun urutan muncul) tentang Azimah (Jajang C Noer) yang mencari putrinya Aini yang hilang, dengan kenyataan ternyata Aini mengikuti kegiatan NII. Cerita kedua tentang Rima (Eka Nusa Pertiwi), mahasiswi aktivis yang sedang mencari jati dirinya serta makna kebenaran di muka bumi ini. Terakhir tentang Jabir dan teman jabir yang suaranya paling oke yang namanya gapernah disebut, anak pondokan (pesantren) yang terpaksa keluar karena tidak bisa bayar SPP.

Ceritanya cukup menarik. Garin sebagai sutradara membawakan sebuah pesan yang dititipkan oleh grup (sebenernya saya nyebutnya grup karena gatau mereka ini apa) Maarif dari hasil riset mereka mengenai fanatisme agama dan berbagai derivasinya pada aspek kehidupan di Indonesia. Tapi sekali lagi, mengacu pada kesalahan saya yang pertama, saya cukup tahu banyak bahwasanya masih banyak hal yang belum diberitahukan lewat filmnya, yang sebenarnya bisa membuat ceritanya lebih menarik lagi. Pendapat Tangkas yang ikut menonton bareng saya dan Farin pun mengatakan bahwa informasinya memang tidak ada yang baru mengenai fanatisme agama dari film Mata Tertutup ini. Disini akan kita temukan beberapa sayatan menarik mengenai kasih sayang ibu dan anak yang terputus karena efek fanatisme, bahwa pertemanan sebenarnya bisa menyelamatkan hidup seseorang, dan banyak cerita atau hikmah lain yang dibawa di film ini. Namun sayang, menurut saya beberapa pesan itu terlalu tersamarkan sehingga akan banyak penonton yang akan lebih mendapatkan dongkol dan ngerasa yaudahlah dibandingkan ngerti hikmahnya.

Jajang C Noer sebagai Azimah, adegan ini adalah saat pencarian Aini

Tapi sekali lagi, paragraf diatas memang kesalahan saya. Untuk orang-orang yang gak tahu dan penasaran atau ngga penasaran pun, ceritanya akan menarik. Mulai dari sistem rekruitmen (yang sebenarnya agak melenceng dari informasi yang saya dapatkan dulu, tapi beberapa cukup mewakili), pem-baiat­-an, hingga cerita konflik internal yang mungkin terjadi didalamnya (karena saya juga tidak tahu apakah hal itu terjadi). Semua diringkas di satu cerita Rima. Lain halnya pada cerita Azimah yang lebih menitikberatkan pada perjuangan dan perasaan orang-orang yang ditinggalkan ketika seseorang hijrah dari NKRI ke NII. Justru yang menurut saya jadi menarik adalah konflik cerita antara Azimah dengan Zal, ponakannya, yang akhirnya memberikan penyelesaian pada cerita Azimah. Lain lagi untuk cerita Jabir dan temannya, efek black seller yang cukup tajam dan meyakinkan bisa memberikan suasana yang tepat untuk menggambarkan harapan di tengah keputusasaan, atau seperti istilah di dalam film oase di tengah padang pasir. Tapi dari cerita ini mungkin yang akan kita tunggu adalah bagian teman Jabir yang dubbing lagu jadi boso jowo.

Eka Nusa Pertiwi sebagai Rima, saat awal memasuki perekrutan NII. Benar-benar melambangkan "Mata Tertutup"

Tiga cerita dari tiga set karakter di film ini tidak diceritakan terpisah seperti sebuah omnibus layaknya Tokyo atau Perempuan Punya Cerita. Mungkin awalnya kita akan agak bingung dengan pengkarakteran dan pembagian peran pada cerita yang mana karena hanya sedikitnya penyebutan nama. Penyajiannya pun seakan-akan ceritanya akan bersambung di suatu tempat atau kondisi, pada awalnya. Seiring film berjalan ternyata tidak muncul juga sesuatu yang menyambungkan antara ketiganya selain tipikal fanatisme yang terjadi pada ketiga cerita. Namun yang paling bikin nyesek bukan bagaimana ketiga cerita itu tersaji, tapi bagaimana ketiga cerita tersebut terselesaikan.

Dari berbagai sumber, ternyata film ini terkategorikan cukup murah. Dengan budget hanya 600 juta rupiah, aktor dan aktris yang kita kenal pun bisa dibilang sangat sedikit. Atau mungkin hanya Jajang C Noer saja yang memang aktor. Sisanya memang talent-talent amatir yang sengaja dibawa untuk mempercepat proses sutingnya. Namun, hal tesebut tidak terlalu berpengaruh pada keberlangsungan maupun ketersampaian cerita, karena aktor-aktor amatirnya termasuk sangat bagus. Dari berbagai sumber pun diketahui ternyata 80% dari smart dialogue yang ada dalam film ini bukanlah berasal dari script, melainkan improvisasi on the spot saat syuting. Dan 50% nya adalah improvisasi yang berasal dari pemain. Dialognya notabene berisikan hal-hal menarik dan penting, nggak banyak buang-buang adegan atau kata-kata.

Efek low budget juga sangat terasa buat saya. Kalau kita perhatikan detil filmnya akan terasa bahwa kamera yang digunakan adalah DSLR. Terlihat dari segi kontras warna, detil garis fokus dan adanya efek rotating sensor saat panning menandakan kalo filmnya diambil pake 5D mkII (dan ternyata benar). Sangat berbeda dengan film-film Garin lainnya yang notabene menggunakan film, memberikan detil yang menyeluruh dan dalam. Tapi menurut saya segalanya diselesaikan secara apik dan luwes. Mata awam rasanya ngga akan bisa ngebedain ini digital atau film. Meskipun beberapa saat terasa kalau konsistensi editannya menurun drastis di tengah tengah film. Suara dan scoring yang terasa juga cukup unik dan kental budaya seperti film-film Garin yang lainnya. Salah satu adegan yang paling terdukung atas scoring adalah saat cerita Azimah dan Aini dengan Zal bermain suling.

Di luar isi film dan filmnya, agak sayang memang kalau film ini tidak banyak yang nonton. Karena berdasarkan kedua kesalahan saya di atas, saya sebenarnya beruntung, sehingga tanpa nonton film ini pun saya sudah tahu dan tidak akan terlalu tergoyahkan keyakinannya. Namun saya yakin diluar sana masih banyak sekali orang-orang yang bisa saja atau sedang mengalami kondisi yang terjadi di dalam film Mata Tertutup ini. Ketika saya nonton pun, awalnya ada sekitar 13-15 orang namun di akhir film hanya 7 orang saja yang tersisa termasuk saya. Bahkan ada yang berantem di tengah-tengah film lalu keluar dari studio sambil marahan, meski saya ragu yang mereka perdebatkan berhubungan dengan film.

Overall, film ini so-so menurut saya. Biasa saja, tapi faktor utamanya terlalu personal dan kesalahan saya sendiri. Sehingga menurut saya 6 dari 10 sudah cukup mewakili untuk film ini. Disarankan menonton untuk orang yang haus dan penasaran akan sebuah informasi penting, tapi tidak disarankan untuk orang yang imannya mudah tergoyahkan, kecuali anda ditemani orang yang bisa anda ajak diskusi setelahnya, apalagi orangnya emosi dan mudah tersulut. Tidak se-kontroversial (namun masih tetap ada sisi kontroversinya) yang saya kira seperti film Tanda Tanya, mungkin karena tidak mencampurkan hubungan antar agama dalam film ini. Tapi semua itu penonton yang memutuskan, suara saya hanya satu dari ribuan orang yang sudah atau akan menonton film ini.

Enjoy!