Sunday, February 27, 2011

Tomorrow, when the war began


Tomorrow, when the war began, simple war, complicating teens...

(2010, Ambience Entertainment, Stuart Beattie. Caitlin Stasey, Deniz Akdeniz, Phoebe Tonkin, Chris Pang. Drama Action 103 min)

Teen movie. Apa yang bisa kita harapkan dari film yang menceritakan tentang kehidupan remaja labil? Boobs, sex, stupid mean girls, boring college life, etcetera etcetera. Tapi bukan itu yang ada di film ini.

Perang. Film ini bercerita tentang perang, tentang bagaimana bocah-bocah-belum-20-tapi-badannya-udah-jadi ini bertahan hidup di kota mereka yang tiba-tiba diserang lalu ada dalam kondisi perang. Bayangkan semalaman anda camping, besoknya pulang-pulang rumah sudah rata dengan tanah. Bahkan tidak sedramatis ESQ ESQ yang sampai rumah ada bendera kuning didepan jalan. Meskipun begitu, film buatan Australia ini cukup menarik hati dan mata, meskipun tidak menarik pikiran.

Film perang identik dengan senjata, darah, teriakan, keributan, kebisingan, kematian, dan tentu saja, tentara. Dalam film ini, hanya karakter terakhir saja yang diminimalisir. Meskipun ceritanya memang sudah super-klise dan mengusung karakter-karakter yang super-stereotip, tapi aksi laga nya nggak kalah sama film-film perang Hollywood.

Bicara super-klise, cerita film ini sebenarnya bisa menarik apabila konflik perangnya jelas. Tanpa bermaksud spoiler, alasan bertahan hidup karena perang memang kuat, tapi perangnya sendiri terjadi karena apa juga kita tidak tahu, meski mungkin akan dijelaskan dalam sequel filmnya. Ending film ini sangat menggantung dan sangat menandakan akan ada sequel. Ibarat film ksatria baja hitam dulu, di sebelah kanan bawah ada tulisan “to be continued” dalam bahasa jepang. Bukan berarti di film ini ada sih ya.

Mari bicara karakter stereotipikal. Apabila saya diminta untuk menyebutkan lima karakter yang harus ada dalam film remaja, maka saya akan menyebutkan hal-hal berikut. Bad guy, tanpa karakter ini, konflik biasanya tidak berkembang. Dumb girl, yang biasanya blonde, mengundang rasa kasihan atau malah rasa kesal dalam film, biasanya karakter favorit saya. Smart people, geek yang ternyata menyelamatkan hidup sekelompok kawanan atau malah orang yang pasti mati pertama. Gorgeous leader, yang biasanya selalu berselisih paham sama bad guy, padahal tidak begitu ahli ngapa-ngapain, tapi banyak omong dan dipercaya banyak orang, dan yang penting, gorgeous, kecuali bukan pemeran utama film. Dan yang terakhir the comedian, joker yang selalu cheer up suasana, pengganti gorgeous leader kalo lagi gaada. Ellie (Caitlin Stasey) berhasil menjadi gorgeous cute leader di film ini, lalu Homer (Deniz Akdeniz) adalah half-bad-guy, karena biasanya bekerjasama dengan Ellie di sebagian besar taktikal film ini. Sayangnya, karakter dumb blonde di film ini kurang cantik (versi saya), diperankan oleh Phoebe Tonkin sebagai Fiona Maxwell. Anehnya The Comedian di film ini, Lee Takkam (Chris Pang) bisa tumbuh romantisme dengan Ellie yang menurut saya agak aneh. Tapi ya terima saja lah, jangan rasis.

Oke, check, semua karakter diatas ada di film ini. Ya tentu saja karakter yang dibutuhkan tidak harus lima itu, di film ini bahkan delapan. Tapi sekali lagi, bedanya semua disini angkat senjata buat perang. Dan adegan-adegan perangnya patut diacungi jempot. Strategi perang –yang sebenarnya mustahil- dibuat sedemikian rupa sehingga banyak kemenangan-kemenangan yang diraih oleh tim gerilya delapan remaja ini. Rupa-rupanya, beberapa dari mereka dialiri darah Chuck Norris karena seringkali tidak tertembak ketika puluhan tentara menembaki mereka.

Jaman sekarang, bicara perang bicara efek. Visual efek yang ditawarkan film ini lumayan oke sebenarnya. Mobil mobil meledak, terbakar, dan adegan favorit saya adalah adegan epic antara serbuan ribuan sapi dan adegan peledakan mobil tangki. Untung saja perangnya bukan perang dengan alien, karena nanti akan sangat merusak cerita pastinya.

Well, untuk menutup review kali ini, saya beri rekomendasi 7 dari 10, karena jarang-jarang film perang non-hollywood ada di muka bumi ini, dan film ini cukup bagus menurut saya, karena diluar cerita yang cukup intriguing (by the way cerita film ini diangkat dari novel dengan judul dan cerita yang sama karangan John Marsden), permainan karakter yang solely epic, efek yang oke, dan adegan-adegan menegangkan, film ini tidak mengusung adegan-adegan seks sampah seperti kebanyakan hollywood-teen movie (bahkan hollywood movie biasa).

Saturday, February 12, 2011

TRE(S)NO




TRE(S)NO, siapa bilang cinta datang dengan sendirinya?

(2011, Kacafilm - LFM ITB, Fikri “Pii” Gustin. Lukman Hakim, Sally Hanako, M Isroffi Pramudito. Comedy Romance 25 min)

Duduk di kursi bus dalam perjalanan panjang jarang sekali mengenakkan, dengan bis AC sekalipun. Apalagi yang duduk di sebelah anda adalah orang yang tidak peduli dan kerjaannya hanya dengerin musik, terus-terusan. Mungkin inilah yang ada di perasaan Sam (Lukman Hakim) sebelum akhirnya duduk bersama Puspa (Sally Hanako) dalam perjalanan singkat mereka di Semarang. Sam adalah pria asli Jowo, yang percaya sama takhayul dan segala ramal-ramal mulai dari barat sampe timur. Sedangkan Puspa, adalah gadis periang yang nampaknya tidak peduli semua itu, dan memiliki hobi fotografi. Keduanya mengikuti perjalanan hunting fotografi dari Bandung – Semarang – Bandung. Seperti apa sih kisah-kisah yang akan mereka lewati? Tonton aja filmnya sendiri.

Seperti biasa, film independent Indonesia rasanya jarang sekali yang bergerak jauh dari percintaan, atau mungkin horror (sama seperti genre film komersilnya). Tapi menurut saya, tidak ada salahnya mengangkat genre yang sama berulang kali apabila memang pengemasannya bisa baik ditambah dengan cerita orisinil. Film TRE(S)NO ini adalah angin segar, ditengah-tengah genre komedi-romance yang kembali menyepi di Indonesia (terakhir yang saya ingat menarik banget itu 30 Hari Mencari Cinta tahun 2004, atau yang lumayan Cinlok di tahun 2008, meski lebih banyak komedinya daripada romance). Patut dinanti-nanti karena saya berusaha menahan diri tidak mengetahui apa-apa sejak pra-produksinya akhir november 2010 hingga sekarang.

Dengan alur cerita yang linear saja, TRE(S)NO menurut saya berhasil dideliver oleh kru Kacafilm dengan cukup apik. Disutradarai oleh Fikri “Pii” Gustin (Sutradara dari Lanjut Gan - 2009) yang notabene hal-hal komedi –tanpa romance– adalah kesehariannya, sebenarnya menurut saya masih banyak kelucuan-kelucuan yang dapat ditarik lagi dari ceritanya. Namun nampaknya Pii memang berusaha menahan agar ceritanya tidak menjadi terlalu dibuat-buat sehingga saat-saat tawa penonton ketiwa premiere film ini pun sama banyaknya dengan saat-saat terjadinya instant button “ngooo” khas film romance. Bisa dibilang, proporsi cerita dan alur emosi yang dibawa pas untuk tertawa dan terenyuh. Saya berani jamin, adegan yang berhubungan dengan poster film akan bisa memberikan kehangatan di hati penonton, seperti perasaan saya waktu menontonnya, di sebelah pacar.

Sembari mengusung tema yang sekalian mempromosikan Indonesia banget, film ini banyak menonjolkan tempat-tempat yang menarik di kota Semarang, meski menurut saya masih banyak tempat-tempat yang kurang diekspos. Mungkin karena keterbatasan durasi dan teknologi, tidak bisa kita nikmati seperti menikmati film The Fall (2006) yang banyak sekali menonjolkan keindahan tempat-tempat yang ajaib di berbagai belahan dunia. Namun jujur saja, saya yang belum pernah ke Semarang berhasil mereka yakinkan dengan film ini bahwa memang Semarang terkenal dengan Pecinan-nya, Mie Nyemek Jawa, dan Museum Kereta Ambarawa (Tempat ini kalo ga salah dipake juga untuk syuting film Sang Pencerah di 2010 lalu).

Percakapan-percakapan lihai antara Sam dan Puspa pun terdengar cocok di telinga, meski acapkali tidak terdengar apa yang mereka bicarakan karena suara ketika saya nonton premiere sedikit mengalami kesalahan teknis. Tidak seperti film indie biasanya, film ini cukup banyak menitikberatkan pada dialog. Untungnya, dialog-dialog penting seperti alasan Puspa mengikuti hunting dan percakapan Sam dan Puspa di warung mie terdengar jelas. Sayang di beberapa adegan Bon (Isroffi Pramudito) yang sebenarnya cukup penting agak kurang terdengar. Namun saya sendiri ragu tidak terdengar karena kesalahan teknis atau terlalu besarnya gelak tawa penonton yang keluar. Ketika anda berpikir bahwa adegannya kaku, bukankah memang dua orang yang baru bertemu mungkin saja akan mengobrol seperti itu?

Dilihat dari segi teknis, film ini bisa dibilang oke punya. Tidak seperti film low-budget-independent lainnya, TRE(S)NO cukup bisa merekam adegan-adegan yang menarik secara oke. Meski sedikit goyang-goyang, kita tetap bisa fokus pada hal-hal yang penting. Tidak begitu banyak juga adegan percuma. Tapi memang ketika nonton premiere-nya di Bioskop Kampus 9009 ITB kemarin, beberapa adegan terlalu washout, mungkin karena infokus yang digunakan belum disesuaikan dengan warna film yang ada, atau mungkin juga ada sedikit salah koreksi di editan.

Tapi memang tidak salah untuk mengeluarkannya di momentum Valentine, baik buat yang sudah berpasangan maupun belum. Karena film ini bisa membuat siapapun yang menontonnya lebih menghargai arti usaha dari cinta itu sendiri.

Jadi, apakah anda sedang jatuh cinta? Atau sedang ingin bersemangat mencari cinta? Atau ingin menghabiskan waktu saja? Sendiri? Berdua? Tontonlah TRE(S)NO, karena anda tidak akan merasakan 25 menit yang anda lalui tiba-tiba akan berakhir begitu saja dan di akhir film, mungkin anda akan menangis, tapi saya rasa sebabnya lebih karena terlalu banyak tertawa.

Maju terus perfilman Indonesia!

PS : Kalau mau nonton filmnya, tunggu saja di screening terdekat atau beli DVD nya (hanya dipungut biaya print cover dan beli dvd+tempatnya), atau kalo boleh ngopi softcopy-nya asal seizin yang punya.