Friday, December 23, 2011

Sherlock Holmes: a game of shadow (2011)


Sherlock Holmes: a game of shadow, ghost, ghost everywhere...

(2011, Warner Bros, Guy Ritchie. Robert Downey Jr, Jude Law, Jared Harris. Action Adventure 129 min)

Back with me after some while :D

Sequel dari Sherlock Holmes ini sempet gue tunggu-tunggu ketika awalnya tahu emang bakal dibikin jadi sequel. Namun mendekati kemunculannya, gue malah ngga segitu tertariknya. Anyways, gue tetep antusias untuk nonton di hari pertama film ini muncul di bioskop. Kebetulan juga butuh sedikit refreshing, padahal nggak stress juga.

It started with witty scene of sneak and chase, a pretty good one indeed. Ngga jauh beda sama Sherlock yang pertama, film ini langsung menyajikan adegan-adegan epic-slow-motion-fight ala Guy Ritchie. Cukup enjoy dengan adegan-adegan tersebut, dan akhirnya gue memutuskan untuk menaruh interest pada setiap detil ceritanya saja karena nampaknya akan menarik.

Kali ini, Sherlock Holmes: A Game of Shadow menceritakan tentang pergulatan Sherlock (Robert Downey Jr) dan Watson (Jude Law) dalam memburu Prof. Moriarty (Jared Harris), yang akhirnya mukanya keliatan. Konspirasi demi konspirasi pun muncul menghantui petualangan mereka disini. Cukup menyedihkan sih, memang, terkadang clue-cluenya sebenernya cukup jelas kali ini, ngga kaya Sherlock yang pertama. Ceritanya juga cukup action and chase standar. Bahkan gue sempet nyaris ketiduran pas lagi cerita-ceritanya. Tapi twist-nya emang ngga pernah mengecewakan sih. Mungkin karena gue juga bukan pembaca novel ataupun cerita Sherlock asli kali ya, makanya gue enjoy aja dengan twist-twist yang ada di ceritanya. Dan kadang agak kesel sama gimana caranya Sherlock bisa sejeli itu dalam melihat clue dari suatu kasus.

No need to talk about how Robert Downey plays Sherlock Holmes, he’s good as he is, because that’s what he act for. Masih Scumbag (ya, efek 9gag, maaf ya) seperti di Sherlock dan juga Iron Man 1 dan 2 (at least, itu film-film yang gue tonton yang dia akan diperhatiin, mainstream). Justru mungkin gue akan angkat topi buat Jude Law di sini. He’s brilliant with playing Watson, being a sidekick to Robert Downey. Karakter Watson yang waras, down to earth, care, dan nyambung sama Sherlcok, dapet banget dibawainnya sama Jude Law. I can feel it, apalagi ketika kontradiksi omongan Watson yang dia ngomong di depan Sherlock dengan omongannya pas di adegan kereta. That’s where we could felt that they’re made for each other. Partnership-wise of course. Adegan bachelor party nya Watson juga konyol sebenernya.

Anyway, karakter yang paling gue suka adalah kemunculan karakter Moriarty di sini. He’s the most normal criminal mastermind I’ve ever seen in movies. Smart and talented, yet super dangerous. Awalnya gue sedikit mengira bahwa Moriarty akan berbentuk seperti Rasputin dari film Anastasia, animasi Disney tahun 1997. Small, smart, can’t do anything but think and do sly things. (Remember that I didn’t read any of the novel or story before watching any Sherlock Holmes movie). Jared Harris berhasil membawa sosok Moriarty yang always plan ahead dan “Keep Calm and Carry On”, which is very englishman for me.

Soal suara memang ngga diragukan lagi, besutan Hans Zimmer pasti ngebawa perasaan banget ketika nonton film. Apalagi pas adegan-adegan di rumah opera. Meskipun gue ngerasa backsound pas adegan Sherlock di gudang agak lebay, tapi we can bear with it lah.

Yang bikin gue bermuka jackie chan (yup, another 9gag analogies. Means that i think “how the fuck”...) adalah sinematografi pas adegan kejar-kejaran di hutan. Itu epic, bahkan menurut gue mengalahkan epicness dari si slowmo-fight yang jadi ciri khas Guy Ritchie and especially Sherlock. Salahnya jadi videografer adalah ketika menemukan suatu hal yang super-menarik, jadi ngga fokus ke cerita. Untung aja penempatannya ngga di saat yang penting banget.

Overall, gue suka sama sequel Sherlock Holmes ini, tapi gue nampaknya lebih excited ketika nonton Sherlock yang pertama, ketika pertama kali ngeliat exploit dari slow-mo-action-fight itu. Untungnya juga porsi Rachel McAdams yang jadi Irene Adler ngga terlalu banyak di film ini karena gue entah kenapa nggak begitu suka dengan Irene yang diperankan Rachel.

Well, I recommend you people to watch this movie as soon as possible if you like the first Sherlock or even just want to know, cause one thing for sure, like it or not, you will enjoy watching it. J

Mwatching!

PS:

Perhatikan seluruh detail di film ini dan perhatikan “hantu”nya. Hehe.

Monday, October 31, 2011

Crazy Stupid Love




Crazy Stupid Love, to find or to fight on your soul-mate

(2011, Carousel Productions, Glenn Ficarra & John Requa. Steve Carell, Ryan Gosling, Julianne Moore, Emma Stone. Romantic Comedy, 118 min)

Halo! I’m back after almost half a year of lazy setback from writing anything, and here I am reviewing a romantic comedy of 2011, if must I say. Meski saya belum berhak bilang begitu karena masih banyak rom-com yang belum saya tonton.

For me, Crazy Stupid Love is a cheesy movie that’s easy to watch and learn, on how to live your life on crazy and stupid thing called love. Film ini bercerita tentang kehidupan seputar Cal Weaver (Steve Carell) yang sedang mengalami krisis hubungan rumah tangga dengan istrinya Emily Weaver (Julianne Moore), dan berteman dengan Jacob Palmer (Ryan Gosling) yang juga merubah hidup Cal selamanya. Ditemani juga oleh Hannah (Emma Stone) yang wajahnya sangat menghibur hati. Oke bagaimanapun saya masih anak muda. She’s so absolutely sexy, but let’s not talk about that.

First, let’s see their acting. Nampaknya nggak perlu banyak berkomentar ya? Dibintangi seorang Golden Globe Winner (Steve Carell untuk serial The Office), satu Golden Globe Nominee (Emma Stone untuk Easy A), dan dua Oscar Nominee (Ryan Gosling untuk Half Nelson, Julianne Moore untuk Far from Heaven dan tiga film lainnya) nampaknya membuat film ini teh alus, alus pisan untuk ditonton. Percayalah bahwa hampir 70% dialog dalam film ini termasuk pickup line nya cheezy pake z, tapi mereka berempat berhasil ngebawa itu dengan baik dan memberikan beberapa surprise element dalam film ini seperti ketika mereka berempat bertemu.

Secara cerita, nggak terlalu mainstream. Mainly memang bermain-main seputar perasaan dari Cal dan Emily, tapi cukup untuk memberikan komedi-komedi yang bisa ditertawakan meskipun itu artinya adalah tertawa diatas penderitaan orang lain – untuk saya penderitaan saya sendiri (sedikit curcol). I think both the screenplay and the actors are really helping each other on delivering the stories, that much. Terkadang komedinya terkesan sedikit satir dan sedih, memang. Tapi beberapa tamparan sangat kuat di film ini dan terjadi banyak penekanan pada pesan-pesan film ini. Bagus, sebenarnya. Mengingat screenplay ini berasal dari writernya film Cars (2006), nampaknya film ini bisa lebih bagus lagi. Lebih menyayat lagi mungkin.

Ngga ada masalah dengan pengambilan gambar nampaknya, tidak terlalu bereksperimen dengan apapun dan gambarnya cukup mengalir tanpa ada masalah berarti. Begitu juga dengan lagu dan suara yang ada.

One problem, maybe (curcol dikit ya). I like this movie very much because it kind of resembles my situation of life nowadays. Jadi mungkin agak sedikit subjektif dan melebih-lebihkan dalam menilai, tapi saya rasa tidak terlalu banyak. Mungkin bisa saya kasih film ini 8 bintang dari 10 bintang, at least itu masih hanya berbeda 0,4 poin dari ratin IMDb saat ini (7,6/10).

Tapi saya rasa, apabila sedang haus film romcom yang memberikan gelak tawa yang luar biasa, (I did laugh very hard at three scene at least), sedang mencari pembenaran dalam sebuah hubungan, atau ingin mencaritahu kondisi hidup saya seperti apa (bagian ini sebenarnya tidak penting), film ini sangat recommended untuk ditonton.


Keempat poster alternatif ini sangat menarik :)


Sunday, February 27, 2011

Tomorrow, when the war began


Tomorrow, when the war began, simple war, complicating teens...

(2010, Ambience Entertainment, Stuart Beattie. Caitlin Stasey, Deniz Akdeniz, Phoebe Tonkin, Chris Pang. Drama Action 103 min)

Teen movie. Apa yang bisa kita harapkan dari film yang menceritakan tentang kehidupan remaja labil? Boobs, sex, stupid mean girls, boring college life, etcetera etcetera. Tapi bukan itu yang ada di film ini.

Perang. Film ini bercerita tentang perang, tentang bagaimana bocah-bocah-belum-20-tapi-badannya-udah-jadi ini bertahan hidup di kota mereka yang tiba-tiba diserang lalu ada dalam kondisi perang. Bayangkan semalaman anda camping, besoknya pulang-pulang rumah sudah rata dengan tanah. Bahkan tidak sedramatis ESQ ESQ yang sampai rumah ada bendera kuning didepan jalan. Meskipun begitu, film buatan Australia ini cukup menarik hati dan mata, meskipun tidak menarik pikiran.

Film perang identik dengan senjata, darah, teriakan, keributan, kebisingan, kematian, dan tentu saja, tentara. Dalam film ini, hanya karakter terakhir saja yang diminimalisir. Meskipun ceritanya memang sudah super-klise dan mengusung karakter-karakter yang super-stereotip, tapi aksi laga nya nggak kalah sama film-film perang Hollywood.

Bicara super-klise, cerita film ini sebenarnya bisa menarik apabila konflik perangnya jelas. Tanpa bermaksud spoiler, alasan bertahan hidup karena perang memang kuat, tapi perangnya sendiri terjadi karena apa juga kita tidak tahu, meski mungkin akan dijelaskan dalam sequel filmnya. Ending film ini sangat menggantung dan sangat menandakan akan ada sequel. Ibarat film ksatria baja hitam dulu, di sebelah kanan bawah ada tulisan “to be continued” dalam bahasa jepang. Bukan berarti di film ini ada sih ya.

Mari bicara karakter stereotipikal. Apabila saya diminta untuk menyebutkan lima karakter yang harus ada dalam film remaja, maka saya akan menyebutkan hal-hal berikut. Bad guy, tanpa karakter ini, konflik biasanya tidak berkembang. Dumb girl, yang biasanya blonde, mengundang rasa kasihan atau malah rasa kesal dalam film, biasanya karakter favorit saya. Smart people, geek yang ternyata menyelamatkan hidup sekelompok kawanan atau malah orang yang pasti mati pertama. Gorgeous leader, yang biasanya selalu berselisih paham sama bad guy, padahal tidak begitu ahli ngapa-ngapain, tapi banyak omong dan dipercaya banyak orang, dan yang penting, gorgeous, kecuali bukan pemeran utama film. Dan yang terakhir the comedian, joker yang selalu cheer up suasana, pengganti gorgeous leader kalo lagi gaada. Ellie (Caitlin Stasey) berhasil menjadi gorgeous cute leader di film ini, lalu Homer (Deniz Akdeniz) adalah half-bad-guy, karena biasanya bekerjasama dengan Ellie di sebagian besar taktikal film ini. Sayangnya, karakter dumb blonde di film ini kurang cantik (versi saya), diperankan oleh Phoebe Tonkin sebagai Fiona Maxwell. Anehnya The Comedian di film ini, Lee Takkam (Chris Pang) bisa tumbuh romantisme dengan Ellie yang menurut saya agak aneh. Tapi ya terima saja lah, jangan rasis.

Oke, check, semua karakter diatas ada di film ini. Ya tentu saja karakter yang dibutuhkan tidak harus lima itu, di film ini bahkan delapan. Tapi sekali lagi, bedanya semua disini angkat senjata buat perang. Dan adegan-adegan perangnya patut diacungi jempot. Strategi perang –yang sebenarnya mustahil- dibuat sedemikian rupa sehingga banyak kemenangan-kemenangan yang diraih oleh tim gerilya delapan remaja ini. Rupa-rupanya, beberapa dari mereka dialiri darah Chuck Norris karena seringkali tidak tertembak ketika puluhan tentara menembaki mereka.

Jaman sekarang, bicara perang bicara efek. Visual efek yang ditawarkan film ini lumayan oke sebenarnya. Mobil mobil meledak, terbakar, dan adegan favorit saya adalah adegan epic antara serbuan ribuan sapi dan adegan peledakan mobil tangki. Untung saja perangnya bukan perang dengan alien, karena nanti akan sangat merusak cerita pastinya.

Well, untuk menutup review kali ini, saya beri rekomendasi 7 dari 10, karena jarang-jarang film perang non-hollywood ada di muka bumi ini, dan film ini cukup bagus menurut saya, karena diluar cerita yang cukup intriguing (by the way cerita film ini diangkat dari novel dengan judul dan cerita yang sama karangan John Marsden), permainan karakter yang solely epic, efek yang oke, dan adegan-adegan menegangkan, film ini tidak mengusung adegan-adegan seks sampah seperti kebanyakan hollywood-teen movie (bahkan hollywood movie biasa).

Saturday, February 12, 2011

TRE(S)NO




TRE(S)NO, siapa bilang cinta datang dengan sendirinya?

(2011, Kacafilm - LFM ITB, Fikri “Pii” Gustin. Lukman Hakim, Sally Hanako, M Isroffi Pramudito. Comedy Romance 25 min)

Duduk di kursi bus dalam perjalanan panjang jarang sekali mengenakkan, dengan bis AC sekalipun. Apalagi yang duduk di sebelah anda adalah orang yang tidak peduli dan kerjaannya hanya dengerin musik, terus-terusan. Mungkin inilah yang ada di perasaan Sam (Lukman Hakim) sebelum akhirnya duduk bersama Puspa (Sally Hanako) dalam perjalanan singkat mereka di Semarang. Sam adalah pria asli Jowo, yang percaya sama takhayul dan segala ramal-ramal mulai dari barat sampe timur. Sedangkan Puspa, adalah gadis periang yang nampaknya tidak peduli semua itu, dan memiliki hobi fotografi. Keduanya mengikuti perjalanan hunting fotografi dari Bandung – Semarang – Bandung. Seperti apa sih kisah-kisah yang akan mereka lewati? Tonton aja filmnya sendiri.

Seperti biasa, film independent Indonesia rasanya jarang sekali yang bergerak jauh dari percintaan, atau mungkin horror (sama seperti genre film komersilnya). Tapi menurut saya, tidak ada salahnya mengangkat genre yang sama berulang kali apabila memang pengemasannya bisa baik ditambah dengan cerita orisinil. Film TRE(S)NO ini adalah angin segar, ditengah-tengah genre komedi-romance yang kembali menyepi di Indonesia (terakhir yang saya ingat menarik banget itu 30 Hari Mencari Cinta tahun 2004, atau yang lumayan Cinlok di tahun 2008, meski lebih banyak komedinya daripada romance). Patut dinanti-nanti karena saya berusaha menahan diri tidak mengetahui apa-apa sejak pra-produksinya akhir november 2010 hingga sekarang.

Dengan alur cerita yang linear saja, TRE(S)NO menurut saya berhasil dideliver oleh kru Kacafilm dengan cukup apik. Disutradarai oleh Fikri “Pii” Gustin (Sutradara dari Lanjut Gan - 2009) yang notabene hal-hal komedi –tanpa romance– adalah kesehariannya, sebenarnya menurut saya masih banyak kelucuan-kelucuan yang dapat ditarik lagi dari ceritanya. Namun nampaknya Pii memang berusaha menahan agar ceritanya tidak menjadi terlalu dibuat-buat sehingga saat-saat tawa penonton ketiwa premiere film ini pun sama banyaknya dengan saat-saat terjadinya instant button “ngooo” khas film romance. Bisa dibilang, proporsi cerita dan alur emosi yang dibawa pas untuk tertawa dan terenyuh. Saya berani jamin, adegan yang berhubungan dengan poster film akan bisa memberikan kehangatan di hati penonton, seperti perasaan saya waktu menontonnya, di sebelah pacar.

Sembari mengusung tema yang sekalian mempromosikan Indonesia banget, film ini banyak menonjolkan tempat-tempat yang menarik di kota Semarang, meski menurut saya masih banyak tempat-tempat yang kurang diekspos. Mungkin karena keterbatasan durasi dan teknologi, tidak bisa kita nikmati seperti menikmati film The Fall (2006) yang banyak sekali menonjolkan keindahan tempat-tempat yang ajaib di berbagai belahan dunia. Namun jujur saja, saya yang belum pernah ke Semarang berhasil mereka yakinkan dengan film ini bahwa memang Semarang terkenal dengan Pecinan-nya, Mie Nyemek Jawa, dan Museum Kereta Ambarawa (Tempat ini kalo ga salah dipake juga untuk syuting film Sang Pencerah di 2010 lalu).

Percakapan-percakapan lihai antara Sam dan Puspa pun terdengar cocok di telinga, meski acapkali tidak terdengar apa yang mereka bicarakan karena suara ketika saya nonton premiere sedikit mengalami kesalahan teknis. Tidak seperti film indie biasanya, film ini cukup banyak menitikberatkan pada dialog. Untungnya, dialog-dialog penting seperti alasan Puspa mengikuti hunting dan percakapan Sam dan Puspa di warung mie terdengar jelas. Sayang di beberapa adegan Bon (Isroffi Pramudito) yang sebenarnya cukup penting agak kurang terdengar. Namun saya sendiri ragu tidak terdengar karena kesalahan teknis atau terlalu besarnya gelak tawa penonton yang keluar. Ketika anda berpikir bahwa adegannya kaku, bukankah memang dua orang yang baru bertemu mungkin saja akan mengobrol seperti itu?

Dilihat dari segi teknis, film ini bisa dibilang oke punya. Tidak seperti film low-budget-independent lainnya, TRE(S)NO cukup bisa merekam adegan-adegan yang menarik secara oke. Meski sedikit goyang-goyang, kita tetap bisa fokus pada hal-hal yang penting. Tidak begitu banyak juga adegan percuma. Tapi memang ketika nonton premiere-nya di Bioskop Kampus 9009 ITB kemarin, beberapa adegan terlalu washout, mungkin karena infokus yang digunakan belum disesuaikan dengan warna film yang ada, atau mungkin juga ada sedikit salah koreksi di editan.

Tapi memang tidak salah untuk mengeluarkannya di momentum Valentine, baik buat yang sudah berpasangan maupun belum. Karena film ini bisa membuat siapapun yang menontonnya lebih menghargai arti usaha dari cinta itu sendiri.

Jadi, apakah anda sedang jatuh cinta? Atau sedang ingin bersemangat mencari cinta? Atau ingin menghabiskan waktu saja? Sendiri? Berdua? Tontonlah TRE(S)NO, karena anda tidak akan merasakan 25 menit yang anda lalui tiba-tiba akan berakhir begitu saja dan di akhir film, mungkin anda akan menangis, tapi saya rasa sebabnya lebih karena terlalu banyak tertawa.

Maju terus perfilman Indonesia!

PS : Kalau mau nonton filmnya, tunggu saja di screening terdekat atau beli DVD nya (hanya dipungut biaya print cover dan beli dvd+tempatnya), atau kalo boleh ngopi softcopy-nya asal seizin yang punya.