Thursday, October 14, 2010

Everybody's Fine


Everybody’s Fine, when you’re looking...

(2009, Miramax Films, Kirk Jones. Robert De Niro, Drew Barrymore, Kate Beckinsale, Sam Rockwell. Drama 99 min)

You’ll never know what you’ll never see or hear. All you could do is believe.

Mungkin inilah sebuah frase yang nampaknya cukup cocok untuk menggambarkan film ini. Film remake dari film dengan judul yang sama di tahun 1990 dimana skenario orisinilnya dibuat oleh Massimo De Rita dan remake ini diangkat oleh sutradara Kirk Jones (Nanny McPhee - 2005). Dengan perubahan seting dari Sisilia, Italia tahun 80-an ke New York, USA tahun 2000-an, Kirk Jones memberikan penyesuaian dengan teknologi dan tentu saja aktor-aktor yang berbakat. Anehnya, film Everybody’s Fine remake ini memiliki rating 0,4 lebih rendah dibanding film aslinya.

Dengan garis besar yang sama, film ini menceritakan tentang seorang duda beranak empat (lima kalau versi lamanya), Frank Goode (Robert De Niro), yang hidup sendiri dan memiliki penyakit yang harus diurus tiap beberapa jam. Saking sulitnya untuk mengumpulkan anak-anaknya sendiri, Frank memutuskan untuk menemui mereka semua. Namun setelah satu persatu bertemu dengan mereka, nampak bahwa ada sesuatu yang mereka sembunyikan dari dirinya. Meskipun terlihat oleh Frank bahwa semuanya baik-baik saja, namun sebenarnya tidak.

Robert De Niro bermain selayaknya orang tua di film ini (mungkin cukup mudah karena dia memang sudah tua, sekitar 66 tahun saat itu). Pemenang Oscar 2 kali ini cukup mengesankan dan memberikan ekspresi kehangatan seorang bapak yang mungkin banyak diimpikan orang-orang (siapa yang tidak ingin bapak aktor kaya yang serba-bisa? Saya tidak tahu juga sih). Cocok ketika dia bertemu dengan satu-persatu anak-anaknya bahwa perasaan tertekan, menekan, tersakiti, cenderung melindungi dengan segala cara, itu keluar dari gerak-gerik Robert. Sayangnya mungkin karakterisasinya kurang diexplore lebih jauh sehingga keluar karakter yang lebih menarik. Tapi nampaknya pengembangan karakter memang diberikan pada semua karakter lainnya. Sedikit-sedikit mirip dengan karakter Don Corleone dari film The Godfather (1974), hanya Frank sudah kehilangan semuanya baik harta maupun jabatan, dan nyaris kehilangan keluarga juga.

Yang sedikit aneh adalah anak-anaknya. Baik Rosie (Drew Barrymore), Amy (Kate Beckinsale), maupun Robert (Sam Rockwell), ketiganya hampir dan nyaris tidak ada persamaan. Bahkan cenderung berbeda,mengingat sebenarnya mereka bertiga adalah saudara kandung. Terkadang kehangatan hanya terasa sedikit dari Rosie yang memang sudah berkeluarga dalam film ini.

Interaksi antara Robert dan karakter-karakter lainnya inilah yang membuat film Everybody’s Fine ini menarik. Mungkin seperti kita tahu, kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam kehidupan itu ialah hal klise yang biasa. Namun sebenarnya dalam film ini, kenyataan-kenyataan tersebut diangkat dan dibuat memainkan emosi penonton dengan gerak-gerik, ekspresi, dialog, dan yang paling penting, sinematografinya. Tidak aneh-aneh, namun cukup mengena. Pengambilan sudut dan informasi tempat di Everybody’s Fine cukup mudah dicerna dan dihafal, padahal berada di banyak tempat, ketimbang film-film yang berada di tiga-empat tempat saja namun kurang jelas informasi penempatannya.

Cerita yang cukup mengena memberikan pemahaman di saya bahwa keluarga itu penting. Bahkan sangat penting. Pesan moral dari film ini memberikan kesadaran tersendiri untuk mengubah jalan hidup sejak sekarang dan bagaimana seseorang seharusnya berperilaku dan memberikan reaksi terhadap apapun yang terjadi pada orang yang kita sayangi.

Yang disayangkan memang pemilihan aktornya mungkin, meskipun tertutup dengan akting mereka yang cukup meyakinkan. Tidak menutup kemungkinan anda akan menangis apabila menonton film ini sampai habis. Sangat sedikit faktor-faktor manis, sweet, ataupun unyu yang bisa bikin diabetes di film ini. Yang ada hanya penonton diminta untuk merasakan juga perasaan sakit dan bahagia yang diderita Frank dan anak-anaknya sepanjang film ini.

Not bad lah, meski saya merasa endingnya agak-agak ngegantung dan janggal. I give it 6 out of 10.

This movie could be a reality on someone’s life.

Or it already does

Monday, October 11, 2010

Letters to Juliet




Letters to Juliet, the sweet revenge of classic cliche love story...
(2010, Summit Entertainment, Gary Winick. Amanda Seyfried, Vanessa Redgrave, Christopher Egan, Gael Garcia Bernal. Romance 105 min)

Amanda Seyfried!

Itulah satu-satunya alasan mengapa saya ngebela-belain nonton film ini. Amanda jarang banget main di film-film yang romantis, terakhir saya tau dia di Jennifer’s Body (2009) dan Chloe (2009) yang dua-duanya nggak ada yang ditonton karena keburu nggak niat nontonnya. Film ini adalah film yang akhirnya ditonton setelah terakhir kali nonton Sang Pencerah (2010) beberapa minggu yang lalu. Dan akhirnya merasa bahwa ada lagi film yang cukup menenangkan hati.

The sweet revenge of the classic cliche love story. And why did I choose those tagline?

Letters to Juliet menceritakan tentang Sophie (Amanda Seyfried), seorang fact-checker majalah New Yorker yang berlibur ke Verona bersama tunangannya yang seorang head cook yang sedang membuat restoran sendiri, Victor (Gael Garcia Bernal) sebelum mereka menikah dan malah disibukkan dengan restoran barunya itu. Di Verona Sophie menemukan sebuah dinding tempat curhat wanita dari berbagai penjuru dunia, yang dialamatkan pada Juliet. Kelanjutan ceritanya gimana? Sisanya adalah surprise factor, sebenarnya lebih baik anda tahu ceritanya cukup sampai disini apabila ingin menonton.

"Letters of Juliet"'s wall

Dengan alur yang solid dan lambat, Gary Winick membawa film ini dengan memainkan dialog dan ekspresi pemainnya. Tidak seperti Amanda yang biasanya, disini Sophie berakting cukup luwes dan cukup cocok dengan romantisme calon pasangan yang bertunangan. Dibandingkan aktingnya di Mean Girls(2004) sebagai Karen Smith (film pertama saya melihat Amanda), tentu saja ini sangat bertolak belakang. She’s absolutely not the usual pretty but stupid big-boobed blonde (although she still had those big boobs). Dalam film ini, Sophie digambarkan dengan pintar menjadi seseorang yang cukup smart untuk mengambil putusan-putusan yang membuat hidupnya perlahan berubah dalam film ini.

Sebaliknya, Gael yang menjadi lawan main Amanda malah bisa dibilang aktingnya cukup mengganggu di film ini, tidak seperti Charlie(Christopher Egan) yang sangat tempramental dan spontan dalam berkata, dan bisa terpeta jelas di mukanya apa yang sedang dirasakan, sepanjang kemunculannya di film ini. Jujur saja, sejak pertemuan pertama antara Sophie dengan Victor maupun Charlie, kita semua akan tahu bagaimana ujung film ini akan mungkin berakhir, minimal dua kemungkinan yang paling besar. Namun memang film ini berhasil dibalut dengan komedi-komedi santai dan tidak nakal maupun rasis yang cukup bisa membuat tertawa dengan baik.

"husbands are like wine, they take a long time to mature"

The magnificent things beside Amanda in this movie is the Academy Awards Winner for Best Actress in Supporting Role for a movie Julia (1977), Vanessa Redgrave. Dia bahkan lebih tua 8 tahun dari Indonesia namun sampai saat ini masih bisa berakting layaknya masih berumur 30-an, saat dia memerankan Julia itu. Dia memerankan Claire dengan sangat baik, benar-benar memberikan kesan seorang nenek yang sedang memiliki semangat dan api yang tinggi dalam hidupnya karena ingin menemukan harapan baru untuk melanjutkan hidup dengan penuh cinta. Tergambarkanlah pokoknya, dengan sempurna :D

Claire (Vanessa) and Sophie (Amanda).

Untungnya dengan nonton film ini di HD, memang bisa liat muka Amanda Seyfried yang cantik dengan sempurna. Baik dan bagusnya lagi, film ini nyaris tidak ada adegan BB17 (terkecuali kissing dihitung, yang berarti kalau diputar di televisi indonesia, keseluruhan opening title akan dipotong). Sebagai Drama Romance yang dibuat tahun 2010 ini, Letters to Juliet patut diacungi jempol karena tidak menggembar-gemborkan hal tersebut yang sekarang sudah sangat jarang tidak ada di film Hollywood (Minimal Topless biasanya). Soal musik, tak diragukan lagi bahwa saya tidak bisa menilai dengan baik. Namun secara keseluruhan musiknya enak didengar dan membawa flow kecuali bagian-bagian terakhir film.

Secara garis besar cerita, Letters to Juliet berjalan dengan sangat manis dan romantis! Banyak sekali adegan-adegan balkon yang menjadi titik klimaks film ini disajikan dengan sangat membutuhkan diabetasol (bukan iklan). Namun seperti yang ditulis di tagline di atas, bahwa memang romantisme adegan-adegan tersebut bukannya adegan yang belum pernah ada di film lain ataupun cerita romeo juliet. Klise, seperti ceritanya dan begitu juga dengan format plotting yang digunakan. Tapi film ini akan benar-benar membalaskan dendam anda yang memang sangat kangen film romantis unyu sweet yang akhir-akhir ini agak jarang keluar di bioskop (atau memang saya aja yang jarang nonton). Yang juga dibalut komedi-komedi yang cair.

Claire : "forgive me, where are my manners?"

Sophie : "you know, i've been wondering that since i met you"

Satu lagi yang menarik dari film ini adalah eksplorasi Verona dan Siena yang sangat indah. Verona tergambarkan sebagai sebuah kota yang aktif, namun sangat sedikit ada kendaraan bermotor lalu lalang. Benar-benar penuh dengan keberjalanan segala-sesuatu, namun tetap saja semua orang bebas bergerak karena sedikitnya kendaraan. Sebaliknya di Siena yang menawarkan pemandangan full hijau, garden dan taman-taman yang indah, membuat hati rileks ketika melihatnya.

Adegan favorit saya di film ini berada di adegan balkon di akhir-akhir klimaks film, ketika kadar gula darah sedang tinggi-tingginya. Karena memang banyak sekali dan terpikirkan sebuah cara yang klise, dan sebenarnya romantis, film ini mengajarkan bahwa yang penting bukanlah isinya, namun effort yang dikeluarkan yang penting.

Pokoknya, Letters to Juliet cukup patut ditonton untuk mereka yang kangen dengan drama romantis unyu yang bisa bikin nangis setelah atau ketika nonton. Untuk mereka yang kurang suka, jangan berkecil hati karena masih banyak film lainnya. I give 7,5 out of 10 for this movie!

"Dear Claire. "what" and "if", are two words as non-threatening as words can be. but put them together, side by side, and they have the power to haunt you for the rest of your life. What If?"