Wednesday, January 20, 2010

the Invention of Lying




The Invention of Lying, in a world where everyone can only tell the truth, this guy can lie.

(2009, Focus Features International, Ricky Gervais & Matthew Robinson. Ricky Gervais, Jennifer Garner, Jonah Hill, Rob Lowe. Comedy Fantasy 99 min)

Setelah lama banget ga nonton film, akhirnya gue nonton film lagi. Kali ini filmnya The Invention of Lying, nontonnya di DVD ketika gue lagi baca kungfuboy di laptop seru-serunya. Karena ngerasa biasa aja, gue membiarkan Tangkas menyetelnya dan kayanya gue akan baca sambil sedikit-sedikit nonton saja. Semua itu gagal. Gue bahkan langsung tertarik nonton film ini dari sejak opening titlingnya keluar. Awalnya gue merasa bahwa film ini cuma film drama komedi romance yang heartwarming aja. Tapi ternyata, rada jauh dari itu justru.

Detail, ini salah satu keunggulan film ini. Detail-detail yang memang diciptakan dan dipandu oleh Ricky Gervais & Matthew Robinson ini memang menarik, disamping sangat mendukung konsep cerita yang ada, ketidakmungkinan yang dijadikan realita di film ini sungguh berhasil membuat gue terpukau. Seperti opening titling yang mengomentari orang-orang di title itu, pengenalan dunia absurd dengan sekonkret mungkin, penamaan hal-hal wajar dengan bodoh, atau munculnya kata-kata jujur yang mengocok perut.

Sebelum berapresiasi lebih jauh, the Invention of Lying tentu saja bercerita mengenai penemuan berbohong itu sendiri. Adalah Mark Bellison (Ricky Gervais, sutradaranya sendiri) yang merupakan seorang screenwriter cupu, gendut, gak pede, loser lah pokoknya. Tapi dia hidup di dunia dimana orang-orang selalu berkata jujur karena memang tidak bisa berbohong, bukannya tidak mau. Sampai suatu saat terjadi turning point dimana Mark mendapatkan ability untuk berbohong.

Nah adegan-adegan kocak di film ini tentu berisikan dialog dialog bodoh yang jujur, dari dalam hati, dan memang logis. Sungguh jelas kekonsistenan Ricky & Matthew dalam membuat film ini, dimana memang konsisten hanya Mark yang bisa bohong, dan efek bohongnya sangatlah mendalam. Menurut gue ini seperti membuktikan bahwa bohong itu memang nikmat, tapi tentu memiliki konsekuensi yang sangat besar. Seakan-akan, berbohong disini adalah sebuah kekuatan super dari superhero penyelamat dunia. Kocak tentu, bagaimana Mark mempergunakan kebohongannya untuk mendapatkan hal yang dia inginkan, namun tentu dengan konsekuensi yang ada, ia mendapat ganjaran yang setimpal juga.

Esensi film ini jelas sampai ke akar-akarnya, dimulai dari judul, akting, cerita, set, dunia, situasi, semua mendukung. Padahal, harsh and sarcastic british comedy biasanya merupakan salah satu komedi yang paling lokal di dunia ini (selain komedi lokal Indonesia yang benar-benar hanya di Indonesia bisa dilakukannya). Namun di film ini nggak demikian. Semua cast, termasuk pemeran Anna (Jennifer Garner) yang menjadi teman kencan Mark, Frank (Jonah Hill) yang menjadi salah satu teman terbaik Mark, dan tentunya Brad Kessler (Rob Lowe) si antagonis yang memiliki apa yang tidak dimiliki Mark. Pembangunan karakternya solid, dan tidak bertele-tele. Juga Fun.

Semua hal diatas pasti berkat screenplay yang luar biasa, dan tentunya dibarengi aktor-aktris yang lebih luar biasa lagi. Pengembangan cerita pun meski agak monoton, namun tetap diselingi kelucuan. Seperti bertemu orang yang sama di tempat yang sama berkali-kali, namun kondisinya berbeda-beda. Dan memang menunjukkan perubahan yang berarti dan beralasan.

Menurut gue film ini nggak berat, tapi juga butuh sedikit membuka pikiran dalam menonton. Pasalnya, dunia di film ini benar-benar berbeda, dan kalo boleh dibilang, cukup outstanding. Segalanya benar-benar meyakinkan dan membuat gue pengen hidup di dunia seperti itu. Pokoknya The Invention of Lying akan menjadi salah satu film komedi wajib tonton bagi para penggemar komedi, terutama penggemar film dengan logat british super kental.

It’s hilariously fun, and differently honest. And so far, it is too honest.

FYI, ketika mengetik review ini, gue kerap mengetik the invention of "lyung" atau "lyong". entah kenapa jari ini kepleset terus.

Thursday, January 7, 2010

Sex and the City

Sex and the City, Get Carrie-d Away.

(2008, New Line Cinema, Michael Patrick King. Sarah Jessica Parker, Kim Cattrall, Kristin Davis, Cynthia Nixon, Chris Noth, Jennifer Hudson. Drama Comedy 145 min)

Gue ngerasa gue gaakan pernah nonton film ini, apalagi tertarik dan nonton dengan sepenuh hati. Oke, ternyata memang harus menaruh praduga tak bersalah kalo mau nonton film, apapun filmnya kecuali untuk film kancut Indonesia. Sex and the City emang filmnya bener-bener girly banget, atau malah womanly banget. Tapi ternyata gue bisa enjoy dan ketawa nontonnya, meski amat sangat tidak memperhatikan dress-dress atau asesoris yang dibilang bagus. Yah, gue jelas lebih enjoy dan excited liat gadget 007 dibanding baju-baju branded mahal.

Sex and the City dilanjutkan dari serial TV yang judulnya sama yang selesai bertahun-tahun yang lalu. Bercerita tentang kehidupan empat orang cewe dengan karakter utama Carrie Bradshaw (Sarah Jessica Parker) yang ada di umur 40-an dan tinggal di New York. Carrie dan tiga sahabatnya, Charlotte (Kristin Davis), Samantha (Kim Cattrall), dan Miranda (Cynthia Nixon) udah tinggal di NY sejak 20 tahun yang lalu, sejak umur mereka 20-an dan mencari two L di NY, yaitu Label, dan Love. Jadi Label udah punya, tinggal Love sekarang.

Karakter cewek-cewek tadi di film ini tetep kuat, selain karena pemerannya adalah orang yang sama dengan serial, tapi penonton yang ga nonton serialnya pun bakal tetep ngeh akan sifat dan kategori si cewek-cewek ini ada dimana. Penjelasan singkat yang ada di awal film sangat sedikit membantu, namun justru kelakuan mereka dan kejadian yang ada sepanjang film menurut gue lebih menjelaskan tentang kepribadian dan masalah masing-masing.

Kisah persahabatannnya naik turun, bikin gue sedikit emosi tapi lebih banyak senengnya, sedikit heartwarming. Tapi love life nya memang bisa dibilang sedikit common but confusing, yang biasa tapi ruwet. Jadi bisa belajar sedikit demi sedikit dari film ini juga karena kisahnya cenderung nyata. Meski nyata disini adalah standar Amerika, bukan Indonesia.

Dari cerita-cerita yang ada, gue jadi bisa sedikit ngerti gimana ngeliat suatu hal dari sisi cewek, meskipun pada prakteknya tetep ga pengaruh di gue. Justru malah wondering, apa gue nanti bisa jadi pria kaya Mr. Big (Chris Noth) yang kayanya udah efisien banget di umur primetime nya. Atau malah jadi kaya Steve yang sedikit tipikal househusband?

Disini munculnya karakter baru yang gue suka, Louise (Jennifer Hudson) from St. Louis, menurut gue sangat tepat! Just like she (Carrie) said, there is no better time to hire an assistant, kehidupan dan principal Louise yang sebenarnya di film hanya dimunculin segelintir tapi jelas, akhirnya sangat berpengaruh sama ceritanya. Mungkin Michael Patrick King sebagai sutradaranya emang pengen bikin penonton kaya gue ini ngerti bahwa sesedikit apapun seseorang hadir dalam dunia lo, ga berarti dia itu ga berarti.

Banyak adegan-adegan porno yang lebay yang sebenernya ga perlu, tapi lumayan menghibur untuk remaja on the peak ages dan orang-orang yang sudah cukup umur yang sudah bener-bener mengerti kalo itu sebenernya memang ada hubungannya dalam cerita ini, bukan sekedar pamer aurat aja. Warna filmnya chic banget menurut gue, colourful tapi soft. Trus adegan-adegan yang gue suka (diluar adegan porno yang mungkin orang-orang akan bilang gue homo kalo gue bilang ga suka 100%), itu obrolan ringan Mr. Big dan Carrie di kasur sama di kloset, trus geblegnya si Charlotte waktu ketemu Mr. Big dan menggunakan opening line-nya.

So far, Sex and the City so good, untuk sebuah film chic yang beranjak woman, mungkin serialnya lebih bagus lagi. Tapi gaada salahnya kalo emang mau nonton untuk belajar sedikit gimana pola pikir cewek yang udah dewasa atau sebenarnya berlaku seperti remaja pada umumnya.

Sherlock Holmes



Sherlock Holmes, Nothing Escapes Him.

(2009, Internationale Filmproduktion Blackbird Dritte, Guy Ritchie. Robert Downey Jr, Jude Law, Rachel McAdams, Mark Strong. Action Mystery 128 min)

I am preparing myself to seeing some beautiful of a mind. And I get it. Buat gue Sherlock Holmes bener-bener film yang smart dan tricky. Truly detective. Meski memang di film ini lebih banyak actionnya ketimbang deduksi dan misteri serta detektifannya, tapi Sherlock Holmes benar-benar sesuai ekspektasi gue.

Di film yang ini (emang ada yang lain ya?), Holmes (Robert Downey Jr) dan Watson (Jude Law) berhasil menangkap penjahat dan pengguna ilmu hitam, Lord Blackwood (Mark Strong) yang akhirnya malah menjadi kasus sendiri untuk mereka. Dibantu dan “dibantu” oleh Irene Adler (Rachel McAdams), terkasih-nya Holmes yang penjahat kelas kakap juga, mereka menyelesaikannya dengan oke. Maaf, super.

Seperti biasa, cerita detektif adalah cerita yang selalu membuat orang bingung di awal dan mengerti di akhir. Kalo mengerti dari awal, pastilah ceritanya komedi atau drama. Disini Guy Ritchie membangun situasi dan kondisi yang ada dari detail-detail tiap adegan yang ada. Seperti Holmes yang malasnya gila-gilaan setelah menyelesaikan kasus, tapi sebenarnya itupun dia lagi membuat sesuatu yang baru, atau Watson yang selalu mencatat di buku catatannya bahkan hal-hal yang hanya secara tersirat dibilang Holmes. Mungkin juga Adler yang seksi dan menarik untuk Holmes tapi selalu waspada, lebih dari Watson.

Gue rasa antara tidak benar dan benar dalam pemilihan Robert Downey Jr sebagai Sherlock Holmes, awalnya. Tetapi setelah menonton, ternyata imej ironman yang sudah melekat pun tidak berpengaruh banyak. Karena memang tipikal-tipikal yang diperankan Robert Downey di kedua film ini adalah orang-orang yang seperti Sherlock, seperti juga Tony Stark, yang smart tapi beringas, pemikir tapi atletis, dan slengean namun pemerhati. Cenderung memiliki kesamaan, kecuali Sherlock harus berlogat British. Tapi sekali lagi, komen gue diatas itu benar-benar berlaku. Robert Downey Jr is awesome. Tapi yang membuat gue excited justru Jude Law yang jadi Watson, disini rasanya dia bener-bener saves the Holmes saves the world, dan bener-bener kalo gaada Watson, pasti Holmes juga gabisa apa-apa.

Visual appearance di film ini sangat mendukung, apalagi efek efek slowmotionnya. Warnanya yang hitamnya terkesan oldies dan sedikit kelam yang bisa bikin kita galau kalo nonton, tapi disini justru menguatkan aksen misteri di Sherlock Holmes. Tentu saja itu sangat dibantu dengan akting-akting luar biasa dari aktor-aktris kawakan. Sebenarnya gue sedikit kaget ketika Rachel McAdams jadi Irene Adler, perkiraan gue dia sedikit lebih tua lagi. Tapi ternyata di tengah-tengah film, rasanya gue ngerti kenapa Rachel McAdams yang jadi Irene. Karena emang karakter dia cocok banget sama liar tapi anggunnya Irene Adler.

Adegan-adegan yang gue suka itu deduksi Holmes buat Mary, yang bener-bener Holmes bisa menjelaskan sesuatu dengan detail hanya dengan data, data, dan data. Bener-bener nunjukin kalo dia smart. Terus juga adegan slowmo pre-fight. Yang gue kira bakal tetep bertahan sampe akhir, tapi ternyata cuma dipake di beberapa adegan berantem aja.

Pastinya, Sherlock Holmes jadi film wajib tonton di resesi 2009/2010 ini. Film segar yang diangkat dari novel yang tidak banyak improvisasi, namun banyaknya pembuktian bahwa sutradara sekelas Guy Ritchie bisa membawakan Holmes dan Watson ke dalam dua aktor kawakan Robert Downey dan Jude Law ini, benar-benar membuat gue berpikir dan kembali menyukai serial-serial detektif yang smart dan imajinatif itu.

Gue selalu suka tipe-tipe titling seperti credit title Sherlock Holmes. Moving Animation dengan warna warna tertentu. Dan yang ini sangat menarik, setelah nonton filmnya dan menonton credit titlenya, gue sampe gamau bangun menunggu credit title nya abis sampe rolling title baru keluar bioskop.

I think someday I’ll made some like those one.

Catch Me If You Can

Catch Me If You Can, The true story of a real fake.

(2002, Dreamworks SKG, Steven Spielberg. Leonardo diCaprio, Tom Hanks. Drama Comedy 141 min)

Catch Me If You Can adalah salah satu film lama yang udah gue tonton berulang kali. Film ini adalah true story yang sangat inspiratif, bikin kita mikir bahwa hidup itu sebenernya gampang dan jangan dibuat susah, tapi tetep ada koridor batesnya tempat kita harus berlaku dimana.

Cerita di film ini agak sulit untuk dibayangkan dan diimajinasikan, padahal cerita ini diangkat dari kisah nyata. Di cerita ini ada banyak twist yang ga perlu, tapi justru menarik dan jadi bumbu yang pas di cerita. Bahkan sebenarnya inti ceritanya itu sempit banget, about the life of a con man. Tapi emang film dengan tema seperti ini perkembangannya bener-bener bebas dan imajinatif. Tapi sekali lagi, sebagai film yang diangkat dari cerita true story, Catch Me if You Can bener-bener bikin otak berputar dan mulut berkata “begimana bisa???!!!”

Catch Me If You Can, seperti yang dibilang tadi bercerita tentang kehidupan seorang con man. Frank Abagnale Jr (Leonardo DiCaprio) adalah murid SMP 16 tahun yang pintar, smart, namun keluarganya bermasalah dan memilih jalan lain untuk menjalankan hidup, yaitu dengan menjadi con man. Selama menjadi con man, dia mendalami banyak profesi, salah satunya pilot, dengan memasuki profesi satu dengan yang lainnya tanpa jalur yang legal sama sekali, banyak pemalsuan uang dan identitas.

Spielberg memang sungguh kurang ajar kalo jadi sutradara. Film ini adalah film drama comedy yang kalo menurut gue malah banyak adegan menegangkannya. Padahal sebenarnya kalo dilihat sekilas, adegannya lagi santai. Sepanjang film, gue menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya dan memang, yang terjadi sungguh mengejutkan.

Sulit dipercaya dan masuk di akal, cerita ini. Tapi memang dibantu dengan akting super-meyakinkan dari Leonardo DiCaprio dan didukung aktor kawakan seperti Tom Hanks (yang memerankan Carl Hanratty, FBI yang ngejar Frank Abagnale Jr), Spielberg mampu ngebawa gue kedalem cerita yang bercerita dari sisi con man, FBI yang mengejar buronan, bahkan orang biasa sekalipun.

Kalo nonton film ini, rasanya seperti apapun yang sulit, segalanya jadi mudah. Cuma dengan make sedikit resource yang ada, dan tentu saja yang wajib adalah being smart and (look) honest. Benar-benar memainkan perasaan, film ini. Entah itu dari aktingnya, ceritanya, ataupun justru kondisinya. Setidaknya akting mereka patut lah masuk nominasi Oscar atau golden globe, dan memang masuk.

Adegan-adegan yang gue suka itu adegan ketika dia berpindah profesi, gimana dia bisa smartly ngefraud semua check dan sertifikat, sama tiap dia ketemu bapaknya untuk ngobrol. Setiap nonton, rasanya dari obrolan itu selalu muncul sesuatu yang menyiratkan “oh, yang lo lakuin tuh ga bener lho”. Tapi sampe sekarang tetep aja ngga ngeh, apa yang menyebabkan hal itu tersirat.

Sayang sekali sebenarnya pengembangan cerita utama sampai klimaks di akhirnya agak kurang sreg. Yang akhirnya terjadi begitu saja dan konklusinya memang damai dan mengejutkan. Tapi mungkin karena keterbatasan ingin film selesai dan batas durasi komersialitas, jadinya alur ceritanya jadi cukup cepet di akhir.

Namun sekali lagi, inspiratif dan catchy adalah keunggulan utama Catch Me If You Can! Film ini tentu wajib tonton karena bener-bener fresh dan jarang film yang tema dan ceritanya seperti ini.

Opening Titling Catch Me If You Can adalah salah satu titling animasi favorit gue! Mudah-mudahan suatu hari bisa bikin yang kaya gitu, haha