Tuesday, December 7, 2010

Flipped




Flipped, ever heard of a narrative stories? This one have it on edges, both sides.

(2010, Castle Rock Entertainment, Rob Reiner. Madeline Carroll, Callan McAuliffe. Drama Comedy Romance 90 min)

Remember your first love? What was it feels like? How does it go? When did it happened?

Bryce Loski (Callan McAuliffe) adalah bocah kelas 2 SD yang baru saja pindah ke rumah barunya. Di rumah barunya, ia bertemu dengan Juli Baker (Madeline Carroll), bocah tetangga yang punya rasa ingin tahu yang besar. Bryce merasa terganggu dengan kehadiran Juli, bahkan semua itu tidak berubah sampai mereka berdua tumbuh di kelas 7. Namun segalanya mulai berubah setahun kemudian ketika Bryce mulai memikirkan perasaan orang lain, dan tentunya, Juli.

Juli Baker, adalah bocah kelas 2 SD yang sedang kedatangan tetangga baru. Tertarik dengan hal-hal baru dalam hidup, ia bersemangat untuk membantu tetangganya, tanpa menyadari bahwa kehadirannya sebenarnya tidak disukai mereka. Saat itulah Juli bertemu Bryce Loski, bocah pria ganteng dengan mata indah, dan Juli yakin suatu saat Bryce akan menciumnya. Voila, dalam sekejap saja Juli jatuh cinta pertama kalinya pada Bryce. Anehnya, Bryce terus saja menghindari Juli sampai kelas 7, bahkan sempat mencoba menggaet gadis lain. Namun satu tahun kemudian, segala sesuatu mulai berubah.

Does it take that long to tell a simple story?

Jawabannya adalah “Yes, it is!”. Film ini merupakan salah satu film yang luar biasa menurut saya. Sejak awal, film ini sudah memperdengarkan narasi yang baik, menjelaskan kondisi suatu hal, sehingga pada akhirnya sampai akhir film pun narasi itu tetap ada. Film ini sangat bercerita (secara harfiah), dan ceritanya memang menarik. Menurut saya, jarang sekali ada film dengan format penceritaan seperti ini. Hebatnya lagi, film ini benar-benar memperlihatkan kejadian dari dua sisi yang berbeda. Flipped benar-benar membuat saya terkagum-kagum akan gaya penceriteraan yang detail dan mendalam, memberikan eksplorasi pada akting anak kecil dan percintaan remaja, serta bumbu-bumbu kekeluargaan dan komedi yang dicampur dalam sebuah drama visual yang soft.

Bryce, dan Juli. Keduanya memiliki cara berpikir yang berbeda, hidup yang berbeda, kondisi keluarga yang berbeda, namun berada di tempat yang dekat, sekolah yang sama, dan dihadapkan pada satu masalah yang sama, yaitu merasakan cinta untuk pertama kalinya. Sweet, many bitters, but somewhat nice. Mereka bilang, cinta pertama sulit dilupakan. For myself, I think I won’t forget that one. But let’s not start talking about that.

Film yang berangkat dari novel karangan Wendelin Van Draanen tahun 2001 ini memainkan sisi psikologis anak kecil dengan sangat piawai. Kita diajak untuk menikmati kelucuan-kelucuan masa pubertas. Masa awal dimana kita mulai prihatin dan peduli pada orang lain, pada konsekuensi dari suatu hal yang kita lakukan. Banyak sekali perilaku biasa yang ditunjukkan secara luar biasa oleh sutradara Rob Reiner (sutradara The Bucket List-2007 dan When Harry Met Sally-1989). Gesture mata, tubuh, semuanya berjalan seirama dengan narasi yang sangat sesuai.

Kalau saya bilang, mungkin sebuah applause patut diberikan untuk kedua aktor Bryce dan Juli. Keduanya bermain bagus sekali dalam film ini. Mereka berhasil membuat saya merasakan perasan mereka secara mendalam baik melalui ekspresi maupun gaya bicara. Juli yang terkesan cuekan diluar tapi lemah dan lembut didalam, serta Bryce yang ganteng tapi peerlessly coward. Tak hanya itu, mungkin cara menyampaikan berbagai hal lewat narasi lisan juga menarik, ditambah keduanya bermain dengan sangat serasi.

Film ini didukung dengan suasana Amerika tahun 1950-1960-an yang oldies-oldies menyenangkan, belum banyak kendaraan, serta grading warna yang soft dan memberikan kesan hangat. Setting zaman dahulu memberikan kesan tersendiri mengenai budaya/kultur yang terjadi saat zaman itu. Rumah yang masih jarang-jarang, kebun yang harus diurus teratur, lahan kosong untuk dibangun rumah. Segalanya rapi. Benar-benar memberikan kesan kekeluargaan dalam film ini.

Secara visual maupun audio, tidak ada orgasm feeling dalam film ini. Benar-benar selama satu setengah jam kita hanya akan dipermainkan oleh plot dan narasi. Dari segi cerita pun, sebenarnya udah banyak film yang mengusung tema cinta pertama dan membautnya menjadi film. Pengesannya cukup rapi dan enak dilihat, begitu juga efek-efek suara yang sangat jadul, membuat suasana film menjadi lebih hidup.

Overall, film ini bagus menurut saya. If i should give points, i’ll give 8 out of 10!

Monday, November 15, 2010

Ondine (2009)



Ondine, the story was once a fairy tail...

(2009, Wayfare Entertainment, Neil Jordan. Colin Farrell, Alicja Bachleda, Alison Barry. Drama Romance 111 min)

Misery is easy, Happiness you have to work at.

Ondine bercerita tentang seorang pria yang bercerita. Syracuse (Colin Farrell) adalah nelayan di daerah Irlandia, dimana suatu hari dia menemukan seorang wanita didalam jaring yang ditebarnya di laut. Aneh? Ga logis? Nampaknya semuanya memang dimaksudkan untuk bertanya-tanya dan membuat sebuah misteri tersendiri. Wanita yang diangkat oleh Syracuse adalah Ondine (Alicja Bachleda), yang pada akhirnya dianggap seekor mermaid oleh Syracuse dan anaknya, Annie (Alison Barry).

Film ini bisa dibilang cukup lama, cukup panjang, dan kurang menarik perhatian. Selain akting Colin Farrell yang biasanya unik, mungkin hampir tidak adalagi yang menarik dari film ini. Secara cerita, banyak sekali karangan-karangan atau cerita yang dibuat dalam film ini. Agar membuat filmnya cukup logis. Meski dengan twists yang sebenarnya sedikit tertebak, pengetahuan yang didapat cukup membuat saya berpikir “ooh”. Nampaknya film ini kurang bisa memainkan emosi saya. Sebenarnya terdapat beberapa adegan yang visually dramatic namun malah terkesan dipaksakan. Seperti saat-saat Ondine berenang, atau twist terakhir yang menjelaskan segalanya.

Meskipun bercerita tentang kehidupan di daerah laut, film ini tidak banyak memiliki adegan bawah laut yang menakjubkan. Padahal biasanya hal-hal itulah yang dibawa film-film seperti ini. Karena Ondine nampaknya lebih menekankan pada drama dan romansanya, pengambilan gambarnya cukup standar saja. Bahkan di beberapa adegan ada yang bikin saya kecewa, ketika adegan malam dan gambarnya seperti di-push sampai terlihat.

Saya belum pernah menonton “Interview with the Vampire :the Vampire Chronicles” (1994). Salah satu film terbaik Neil Jordan sang sutradara yang pada akhirnya ditempatkan di kover atau poster film ini sebagai pembuatnya. Memang, Neil Jordan bisa dengan baik mengarahkan Colin dan Alicja, terutama Alison yang masih anak kecil, tapi malah bermain sangat bagus. Tapi sayangnya pengkarakteran mereka semua saya rasa kurang mengena. Seperti Syracuse yang awalnya alkoholik berat, dan ketika kembali mengkonsumsinya sebegitu saja langsung tersadar, atau Annie yang penyakitnya tidak dijelaskan mengapa ia harus selalu menggunakan kursi roda, padahal ditengah-tengah film dia bisa tiba-tiba saja berdiri, berjalan dan mendorong kursi rodanya tersebut. Di beberapa review orang yang saya lihat malah banyak yang mencerca Alicja karena hanya dapat “menangis, tertawa, terlihat seksi dan berenang di saat yang tepat”.

Ketika bicara akting, Colin Farrell memang sulit untuk diragukan. Beliau memang cukup piawai memainkan karakter seperti Syracuse dalam film ini.Kalau menurut saya sebenarnya, Alicja juga bermain bagus menjadi Ondine, hanya saja peran yang diberikan padanya cukup terbatas. Tapi jujur dalam film ini Alicja terlihat sangat seksi. Dan keputusan Neil Jordan memilih Alicja karena wajahnya tidak familiar sebagaimana Colin Farrel menurut saya sangat tepat. Terasa sekali ketidak familiaran pada Alicja ketika menonton film ini, yang menyebabkan misteri-misteri Ondine semakin menarik. Sayangnya, tetap saja yang memenangkan Best Actor IFTA Award (sebuah festival film di Irlandia) untuk film ini adalah akting Colin Farrell, bukan Alicja. Dan pemeran mantan istri Syracuse, Maura (Dervla Kirwan) malah memenangkan Best Supporting Actress di IFTA Award juga. Mungkin memang lebih sulit memerankan ibu pemabuk yang tetap sayang dan peduli sama anaknya.

Oh iya, salah satu hal yang menarik dari film ini adalah musiknya. Musik yang mengayun adalah musik-musik Sigur Ros. Awalnya juga saya tidak sadar karena tidak terlalu tertarik dengan musik. Namun ternyata dalam film ini juga mereka di-featurekan dalam suatu adegan. Mungkin Neil juga mengambil mereka sebagai background music karena Sigur Ros merupakan band yang cukup tidak Mainstream dalam dunia film. Aliran musiknya terasa enak di telinga. Sampai akhirnya film ini memenangkan award Best Sound dalam IFTA award. Begitu juga lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Ondine.

Overall, menurut saya film ini biasa saja. Di salah satu review IMDb bilang bahwa film ini sangat cocok untuk ditonton apabila sedang sakit dan butuh tidur. Namun film ini cukup bisa menemani saya yang menunggu waktu kuliah-yang tinggal setengah jam lagi saat menulis review ini- dan hanya di beberapa adegan yang membuat mengantuk, dimana setelahnya biasanya dibangunkan lagi dengan adegan suspense. Mungkin saya akan beri 7 dari 10 apabila harus menilai. Saran saya tontonlah film ini apabila memang anda sedang berkesempatan dan memiliki waktu luang. Rasa-rasanya, jika memang ketika menonton tiba-tiba anda harus pergi, anda akan malas untuk melanjutkannya lagi. Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika menonton.

Thursday, October 14, 2010

Everybody's Fine


Everybody’s Fine, when you’re looking...

(2009, Miramax Films, Kirk Jones. Robert De Niro, Drew Barrymore, Kate Beckinsale, Sam Rockwell. Drama 99 min)

You’ll never know what you’ll never see or hear. All you could do is believe.

Mungkin inilah sebuah frase yang nampaknya cukup cocok untuk menggambarkan film ini. Film remake dari film dengan judul yang sama di tahun 1990 dimana skenario orisinilnya dibuat oleh Massimo De Rita dan remake ini diangkat oleh sutradara Kirk Jones (Nanny McPhee - 2005). Dengan perubahan seting dari Sisilia, Italia tahun 80-an ke New York, USA tahun 2000-an, Kirk Jones memberikan penyesuaian dengan teknologi dan tentu saja aktor-aktor yang berbakat. Anehnya, film Everybody’s Fine remake ini memiliki rating 0,4 lebih rendah dibanding film aslinya.

Dengan garis besar yang sama, film ini menceritakan tentang seorang duda beranak empat (lima kalau versi lamanya), Frank Goode (Robert De Niro), yang hidup sendiri dan memiliki penyakit yang harus diurus tiap beberapa jam. Saking sulitnya untuk mengumpulkan anak-anaknya sendiri, Frank memutuskan untuk menemui mereka semua. Namun setelah satu persatu bertemu dengan mereka, nampak bahwa ada sesuatu yang mereka sembunyikan dari dirinya. Meskipun terlihat oleh Frank bahwa semuanya baik-baik saja, namun sebenarnya tidak.

Robert De Niro bermain selayaknya orang tua di film ini (mungkin cukup mudah karena dia memang sudah tua, sekitar 66 tahun saat itu). Pemenang Oscar 2 kali ini cukup mengesankan dan memberikan ekspresi kehangatan seorang bapak yang mungkin banyak diimpikan orang-orang (siapa yang tidak ingin bapak aktor kaya yang serba-bisa? Saya tidak tahu juga sih). Cocok ketika dia bertemu dengan satu-persatu anak-anaknya bahwa perasaan tertekan, menekan, tersakiti, cenderung melindungi dengan segala cara, itu keluar dari gerak-gerik Robert. Sayangnya mungkin karakterisasinya kurang diexplore lebih jauh sehingga keluar karakter yang lebih menarik. Tapi nampaknya pengembangan karakter memang diberikan pada semua karakter lainnya. Sedikit-sedikit mirip dengan karakter Don Corleone dari film The Godfather (1974), hanya Frank sudah kehilangan semuanya baik harta maupun jabatan, dan nyaris kehilangan keluarga juga.

Yang sedikit aneh adalah anak-anaknya. Baik Rosie (Drew Barrymore), Amy (Kate Beckinsale), maupun Robert (Sam Rockwell), ketiganya hampir dan nyaris tidak ada persamaan. Bahkan cenderung berbeda,mengingat sebenarnya mereka bertiga adalah saudara kandung. Terkadang kehangatan hanya terasa sedikit dari Rosie yang memang sudah berkeluarga dalam film ini.

Interaksi antara Robert dan karakter-karakter lainnya inilah yang membuat film Everybody’s Fine ini menarik. Mungkin seperti kita tahu, kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam kehidupan itu ialah hal klise yang biasa. Namun sebenarnya dalam film ini, kenyataan-kenyataan tersebut diangkat dan dibuat memainkan emosi penonton dengan gerak-gerik, ekspresi, dialog, dan yang paling penting, sinematografinya. Tidak aneh-aneh, namun cukup mengena. Pengambilan sudut dan informasi tempat di Everybody’s Fine cukup mudah dicerna dan dihafal, padahal berada di banyak tempat, ketimbang film-film yang berada di tiga-empat tempat saja namun kurang jelas informasi penempatannya.

Cerita yang cukup mengena memberikan pemahaman di saya bahwa keluarga itu penting. Bahkan sangat penting. Pesan moral dari film ini memberikan kesadaran tersendiri untuk mengubah jalan hidup sejak sekarang dan bagaimana seseorang seharusnya berperilaku dan memberikan reaksi terhadap apapun yang terjadi pada orang yang kita sayangi.

Yang disayangkan memang pemilihan aktornya mungkin, meskipun tertutup dengan akting mereka yang cukup meyakinkan. Tidak menutup kemungkinan anda akan menangis apabila menonton film ini sampai habis. Sangat sedikit faktor-faktor manis, sweet, ataupun unyu yang bisa bikin diabetes di film ini. Yang ada hanya penonton diminta untuk merasakan juga perasaan sakit dan bahagia yang diderita Frank dan anak-anaknya sepanjang film ini.

Not bad lah, meski saya merasa endingnya agak-agak ngegantung dan janggal. I give it 6 out of 10.

This movie could be a reality on someone’s life.

Or it already does

Monday, October 11, 2010

Letters to Juliet




Letters to Juliet, the sweet revenge of classic cliche love story...
(2010, Summit Entertainment, Gary Winick. Amanda Seyfried, Vanessa Redgrave, Christopher Egan, Gael Garcia Bernal. Romance 105 min)

Amanda Seyfried!

Itulah satu-satunya alasan mengapa saya ngebela-belain nonton film ini. Amanda jarang banget main di film-film yang romantis, terakhir saya tau dia di Jennifer’s Body (2009) dan Chloe (2009) yang dua-duanya nggak ada yang ditonton karena keburu nggak niat nontonnya. Film ini adalah film yang akhirnya ditonton setelah terakhir kali nonton Sang Pencerah (2010) beberapa minggu yang lalu. Dan akhirnya merasa bahwa ada lagi film yang cukup menenangkan hati.

The sweet revenge of the classic cliche love story. And why did I choose those tagline?

Letters to Juliet menceritakan tentang Sophie (Amanda Seyfried), seorang fact-checker majalah New Yorker yang berlibur ke Verona bersama tunangannya yang seorang head cook yang sedang membuat restoran sendiri, Victor (Gael Garcia Bernal) sebelum mereka menikah dan malah disibukkan dengan restoran barunya itu. Di Verona Sophie menemukan sebuah dinding tempat curhat wanita dari berbagai penjuru dunia, yang dialamatkan pada Juliet. Kelanjutan ceritanya gimana? Sisanya adalah surprise factor, sebenarnya lebih baik anda tahu ceritanya cukup sampai disini apabila ingin menonton.

"Letters of Juliet"'s wall

Dengan alur yang solid dan lambat, Gary Winick membawa film ini dengan memainkan dialog dan ekspresi pemainnya. Tidak seperti Amanda yang biasanya, disini Sophie berakting cukup luwes dan cukup cocok dengan romantisme calon pasangan yang bertunangan. Dibandingkan aktingnya di Mean Girls(2004) sebagai Karen Smith (film pertama saya melihat Amanda), tentu saja ini sangat bertolak belakang. She’s absolutely not the usual pretty but stupid big-boobed blonde (although she still had those big boobs). Dalam film ini, Sophie digambarkan dengan pintar menjadi seseorang yang cukup smart untuk mengambil putusan-putusan yang membuat hidupnya perlahan berubah dalam film ini.

Sebaliknya, Gael yang menjadi lawan main Amanda malah bisa dibilang aktingnya cukup mengganggu di film ini, tidak seperti Charlie(Christopher Egan) yang sangat tempramental dan spontan dalam berkata, dan bisa terpeta jelas di mukanya apa yang sedang dirasakan, sepanjang kemunculannya di film ini. Jujur saja, sejak pertemuan pertama antara Sophie dengan Victor maupun Charlie, kita semua akan tahu bagaimana ujung film ini akan mungkin berakhir, minimal dua kemungkinan yang paling besar. Namun memang film ini berhasil dibalut dengan komedi-komedi santai dan tidak nakal maupun rasis yang cukup bisa membuat tertawa dengan baik.

"husbands are like wine, they take a long time to mature"

The magnificent things beside Amanda in this movie is the Academy Awards Winner for Best Actress in Supporting Role for a movie Julia (1977), Vanessa Redgrave. Dia bahkan lebih tua 8 tahun dari Indonesia namun sampai saat ini masih bisa berakting layaknya masih berumur 30-an, saat dia memerankan Julia itu. Dia memerankan Claire dengan sangat baik, benar-benar memberikan kesan seorang nenek yang sedang memiliki semangat dan api yang tinggi dalam hidupnya karena ingin menemukan harapan baru untuk melanjutkan hidup dengan penuh cinta. Tergambarkanlah pokoknya, dengan sempurna :D

Claire (Vanessa) and Sophie (Amanda).

Untungnya dengan nonton film ini di HD, memang bisa liat muka Amanda Seyfried yang cantik dengan sempurna. Baik dan bagusnya lagi, film ini nyaris tidak ada adegan BB17 (terkecuali kissing dihitung, yang berarti kalau diputar di televisi indonesia, keseluruhan opening title akan dipotong). Sebagai Drama Romance yang dibuat tahun 2010 ini, Letters to Juliet patut diacungi jempol karena tidak menggembar-gemborkan hal tersebut yang sekarang sudah sangat jarang tidak ada di film Hollywood (Minimal Topless biasanya). Soal musik, tak diragukan lagi bahwa saya tidak bisa menilai dengan baik. Namun secara keseluruhan musiknya enak didengar dan membawa flow kecuali bagian-bagian terakhir film.

Secara garis besar cerita, Letters to Juliet berjalan dengan sangat manis dan romantis! Banyak sekali adegan-adegan balkon yang menjadi titik klimaks film ini disajikan dengan sangat membutuhkan diabetasol (bukan iklan). Namun seperti yang ditulis di tagline di atas, bahwa memang romantisme adegan-adegan tersebut bukannya adegan yang belum pernah ada di film lain ataupun cerita romeo juliet. Klise, seperti ceritanya dan begitu juga dengan format plotting yang digunakan. Tapi film ini akan benar-benar membalaskan dendam anda yang memang sangat kangen film romantis unyu sweet yang akhir-akhir ini agak jarang keluar di bioskop (atau memang saya aja yang jarang nonton). Yang juga dibalut komedi-komedi yang cair.

Claire : "forgive me, where are my manners?"

Sophie : "you know, i've been wondering that since i met you"

Satu lagi yang menarik dari film ini adalah eksplorasi Verona dan Siena yang sangat indah. Verona tergambarkan sebagai sebuah kota yang aktif, namun sangat sedikit ada kendaraan bermotor lalu lalang. Benar-benar penuh dengan keberjalanan segala-sesuatu, namun tetap saja semua orang bebas bergerak karena sedikitnya kendaraan. Sebaliknya di Siena yang menawarkan pemandangan full hijau, garden dan taman-taman yang indah, membuat hati rileks ketika melihatnya.

Adegan favorit saya di film ini berada di adegan balkon di akhir-akhir klimaks film, ketika kadar gula darah sedang tinggi-tingginya. Karena memang banyak sekali dan terpikirkan sebuah cara yang klise, dan sebenarnya romantis, film ini mengajarkan bahwa yang penting bukanlah isinya, namun effort yang dikeluarkan yang penting.

Pokoknya, Letters to Juliet cukup patut ditonton untuk mereka yang kangen dengan drama romantis unyu yang bisa bikin nangis setelah atau ketika nonton. Untuk mereka yang kurang suka, jangan berkecil hati karena masih banyak film lainnya. I give 7,5 out of 10 for this movie!

"Dear Claire. "what" and "if", are two words as non-threatening as words can be. but put them together, side by side, and they have the power to haunt you for the rest of your life. What If?"

Wednesday, September 1, 2010

Grown Ups



Grown Ups, will you ever know what happened to you in another 20 years?

(2010, Happy Madison Productions, Dennis Dugan. Adam Sandler, Rob Schneider, Salma Hayek, Kevin James, David Spade. Drama Comedy 102 min)

Sudah nyaris sebulan lebih saya tidak menonton film secara serius atau secara penuh. Hanya nonton serial TV Glee saja setelah nonton Inception (2010) karena kesibukan sehari-hari yang aneh ini. Sebenernya sebelum ini sempat menonton Catch Me If You Can (2002) dan The Fourth Kind (2009) secara sangat tidak fokus di ruang santai unit saya, LFM.

Grown Ups tadinya nampak seperti komedi murahan konyol yang nakal, dimana ekspektasi saya ceritanya akan berkutat di sekitar orang dewasa yang terus saja bersikap seperti anak kecil. Karena di tagline posternya juga "Boys will be boys... some longer than others." Tapi untungnya dengan ekspektasi seperti itu, Grown Ups cukup meningkatkan mood untuk hidup dengan lebih baik lagi, before the life's final buzzer rings.

enjoying your life with nature. kepengen.

Lenny Feder (Adam Sandler) dan empat orang kawannya adalah sahabat yang bertemu dalam sebuah tim basket sekolah ketika mereka berumur 12 tahun. Mereka disatukan dengan kemenangan tim basket mereka yang dilatih oleh Coach Buzzer. Puluhan tahun kemudian, mereka semua memiliki hidup masing-masing dan jalan pikiran yang berbeda, namun tetap pada satu kenyataan yang diajarkan Coach bahwa they have to enjoy the life as you can, before the life's final buzzer rings.

Sampai sekarang emang Adam Sandler belum pernah mengecewakan saya dalam men

gubah film komedi menjadi film drama (kadang romantis, meski sekarang cukup nakal) yang menyentuh hati. Tidak ada efek bagus disini, soundtrack keren, ataupun cerita dan plot yang super sadistis. There's only simplicity on showing people what their lives could be. Menurut saya, hanya kesederhanaan tentang hidup yang ditawarkan dari film Grown Ups ini. Namun justru disitulah sisi menariknya. Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dengan mudah karena kondisinya cukup dekat dengan kehidupan yang ada di sekitar kita. Seperti bila kita masih muda, kita bisa memilih untuk jadi orang seperti apa dan menentukan masa depan yang seperti apa dengan menonton Grown Ups ini.

Love your family. That's what count, right? Itu yang penting dan itu yang dihikmahkan di film ini. Penyuguhan cinta keluarga dengan bumbu-bumbu komedi yang cukup nakal membuat film ini beratmosfer berbeda dan cukup segar, seperti penggabungan antara American Pie dan Keluarga Cemara (thanks to ramdaffe).

berenang bareng keluarga. Lenny Feder (kiri) dan McKenzie (Tengah)

Tapi mungkin kalo anda bukan orang yang mudah tersentuh ataupun tidak suka dengan film tanpa greget-greget yang asik dan adegan menegangkan, mungkin Grown Ups akan menjadi film yang tidak menarik. Film ini patut ditonton untuk para melankolis yang "ide"nya adalah mencari jati diri hidup atau mereka yang ingin mengetahui karakteristik memimpin.

the boys altogether. wonder if i could be with my friends for another years.

Adegan favorit gue di film ini ada dua, yang pertama adalah adegan "shift shift" dan yang kedua adegan "blue water" di kolam renang. Cukup original, menurut gue. Dan memang sangat menggambarkan kehidupan sehari-hari orang.

Well, overall film ini hanya patut ditonton. Akan jadi 2/10 untuk pecinta film dengan plot sulit, cerita keren, cool, visual oke, dan sebagainya. Tapi buat gue yang cukup mudah tersentuh dengan film, bisa jadi 6/10. Not too bad though for a family movie (but please, without kid under 17).

Monday, July 19, 2010

Inception


Inception, beyond imagination, beneath reality...

(2010, Warner Bros Pictures, Christopher Nolan. Leonardo DiCaprio, Ellen Page, Joseph Gordon-Levitt, Ken Watanabe, Marion Cotillard. Drama Mystery Thriller 148 min)

Limbo : \ˈlim-(ˌ)bō\

1 often capitalized : an abode of souls that are according to Roman Catholic theology barred from heaven because of not having received Christian baptism

2 a : a place or state of restraint or confinement b : a place or state of neglect or oblivion c : an intermediate or transitional place or state d : a state of uncertainty

Awalnya, gue sama sekali ga punya ekspektasi buat film ini. Hanya sekedar Nolan’s Film yang sejujurnya gue hanya “cukup excited” saja waktu nonton Dark Knight (2008). Tapi setelah dua setengah jam nonton film ini di XXI Ciwalk, ditemani popcorn caramel, orange juice dan pacar tercinta, I just can’t believe there’s people like Christopher Nolan that exist!

Inception bercerita mengenai insepsi(yang tidak ada di KBBI). Yang dalam pikiran gue sebelum nonton, insepsi bersaudara dengan injeksi, dan ternyata benar. Bedanya adalah apa yang dimasukkan, dan bagaimana caranya. Cobb (Leonardo DiCaprio) adalah seorang Extractor, termasuk salah satu yang terbaik, dan bertugas untuk mencuri. Apa yang dicurinya?

I’m speechless. Inception is too amazing even to explain with words. Tapi gue akan mencoba, demi sebuah keadilan dan kebenaran. #Naon.

"naon sih maneh oi. aing tembak siah"

Inception adalah salah satu film terbaik yang pernah gue tonton. Nolan memang benar-benar bisa memainkan Leonardo Dicaprio, Ellen Page(sebagai Ariadne, pernah main di Juno), Joseph Gordon-Levitt (Arthur, 500 days of summer), dan Ken Watanabe(Saito, The Last Samurai, Batman Begins) sebagai tim yang super keren 2010 (maaf kalo bahasanya lagi labil).

Nolan sebagai penulis sekaligus sutradara dari Inception tampaknya menuangkan seluruh kegilaan sekaligus kejeniusannya dalam film ini. Lihat saja bagaimana dia membuat karakter per karakter dalam Inception memiliki role yang berbeda dan betul-betul dibutuhkan. Cobb sebagai role leader punya gaya bicara dan efek keras kepala yang ngga bisa ditawar. Ariadne dibuat menjadi jenius dalam bagiannya, the gifted smart child. Dia bisa menyerap segala pengetahuan serta menyimpulkan bagian-bagian yang biasanya tidak bisa disimpulkan banyak orang. Arthur pun benar-benar a man of exact, yang nggak punya toleransi sama sebuah keabstrakan sekalipun, yang bikin dia ngga berimajinasi dan terukur. Bicara Saito, memang nggak jarang dia main jadi orang jepang di film-film keren Hollywood. Tetep dengan karakternya yang keras, punya kemauan dan punya kendali dalam film ini.

Diluar karakternya serta pembangunannya yang kuat, plottingnya ga main-main. Menurut gue scriptnya pasti sangat jelas, dan bukan sebuah cerita dengan alur maju dengan dipotong-potong lalu dibuat sedemikian rupa jadi maju mundur atau mundur. Tapi memang sejak awal semuanya dibuat untuk membuka tabir-tabir fakta secara perlahan, meninggalkan bekas-bekas kenyataan di benak kita. Cerita Inception muternya kemana-mana, tapi muternya jelas dan ada maknanya. Banyak banget hal-hal ga penting yang ga diceritakan Nolan tapi mungkin memang menarik, seperti bagaimana jelasnya teknologi Inception ini, bagaiman Cobb bisa main limbo, dan banyak hal lainnya, termasuk endingnya. Sepanjang film, gue sama sekali terhenti untuk menebak ceritanya.

building dream, together.

Secara visual maupun audio, Inception bener-bener memanjakan mata gue. Dengan lagu-lagu dan scoring yang dicompose Hans Zimmer (Sherlock Holmes, Angels & Demons, The Dark Knight) serta visual gila-gilaan yang pastinya bikin gue yang seorang filmmaker merasa ingin berhenti bikin film saja melihat begitu hebatnya filmmaker Inception ini. Meski tentu saja setelahnya saya ingin mencoba membuat adegan-adegan gravity, twisted world, dan mirror world. Nolan berhasil menggambarkan dunia yang terbalik versinya, tidak seperti dunia yang terbalik versi semua orang lakukan. He just did it.

Soal cerita? Gausah ditanya lagi, ceritanya sama sekali ga mainstream. Seperti biasa Nolan membuat sebuah exception from living your usual life, sesuatu yang berbeda dari biasanya, dari kebiasaan orang banyak. Lihat saja ilusinya ilusi pesulap pada The Prestige (2006) dan ide superhero of the villain dari The Dark Knight (2008). Di Inception, dia seperti membeberkan sebuah frase “beyond imagination, beneath reality. Segala yang ada dalam Inception berada jauh dari imajinasi kita, sangat rumit dan kompleks. Namun semua itu sebenarnya berada dibawah kenyataan yang ada, dibawah kesadaran yang kita sendiri miliki. Gue sendiri pernah banyak berpikir sebagaimana Cobb berpikir sampai akhirnya berada pada dunia yang tidak diinginkan.

gimana caranya ada kereta ditengah jalan di kota coba?

Plotting favorit gue di film ini ialah levels. Berapa sih sebenernya tingkat penciptaan yang terjadi? Bagaimana pengaturannya? Berapa jarak waktunya? Bagaimana bisa terjadi percepatan dalam percepatan dalam percepatan? (semakin lama semakin fisis). Cerita dalam Inception memang sangat rumit sekali. Namun penceritaan yang detail dan pengembangan yang perlahan membuat ceritanya sangat terkonsep, jadi setidaknya 80 persen ceritanya bakal nyampe.

Lalu peran Mal(Marion Cotillard), yang dalam film ini memegang kunci penting dalam plot-plot yang ada dalam Inception. Meski tidak termasuk kedalam tim, namun aksinya sangatlah berpengaruh dalam film. Penekanan bahwa penderitaan yang dialaminya sedikit banyak akan dirasakan penonton ketika nonton Inception. Entah bagaimana kata-katanya bagai menyihir.

Nolan berhasil menginjeksi orang-orang dengan insepsi. Dan kata-kata ini jelek kalo diucapkan dalam Indonesia karena bahkan insepsi bukanlah sebuah kata.

Nolan did well on injecting peoples with inception, then he made us doubting about the reality of our world. He did not done a great job, what he did was outstanding and it will exceeds any of your expectation! Get it done and watch it, peoples! And if I should giving score, I would give Inception 10/10!

Do you dare to dream, inside your own dream?


**************SPOILER ALERT!!!****************

Can you count how many level they did on Inception? Then if you can, do the calculation of the timing in the movie.

10 hours in flight = 600 minutes. If 5 minutes was like 1 hour, then it would be 120 hours or five days (in film they said almost a week, it’s simplifying). But then, after about an hour, they did another level, so their 119 hours (7140 minutes) will be 1428 hours (59,5 days or 2 months). Inside, Mr. Charles did another level. So on level 2, they had about 1420 (to be simple) hours left and it would be 17040 hours (710 days, about two years) on the level 3. Then they did another leap to level four (ignore the around one hour lost that won’t be affecting the calculation now) which could be the limbo or not, then the time left was 204480 hours or 8520 days or 23 years.

If possible, that’s about how long Saito waiting if you’ve been wondering.

Oh, then for Cobb and Mal, when they reach level 4 (or if it is Limbo) and growing old together for 50 years, it’s possibly just about 20 hours.

**************SPOILER ALERT!!!****************

Saturday, July 10, 2010

Dorm


Dorm, He don’t even know yet, and you just don’t know...

(2006, Hub Ho Hin Films, Songyos Sugmakanan. Charlie Trairat, Sirachuch Chientaworn, Chintara Sukapatana. Drama Horror 110 min)

Every school has its own story, and every story has its own truth. Just like the queen bee on Mean Girls or rewinding life on 17 again, the Dorm has it’s friendship like we never saw before. Still, it’s a ghost story.

Film ini saat itu lebih menarik daripada cerita manga Shaman King yang lagi seru-serunya punya oversoul level tertinggi Yoh. Gue nontonnya di workshop menulis-nya kineklub LFM.

Dorm (judul asli: Dek Hor) menceritakan tentang Ton (Charlie Trairat) yang dimasukkan ke asrama oleh ayahnya, dimana di asrama itu ada seorang guru aneh, Pranee (Chintara Sukapatana). Di asrama tersebut Ton memiliki beberapa teman baru, diantaranya Vichien (Sirachuch Chientaworn) yang sering sekali membantunya dan mengetahui beberapa seluk-beluk tentang sekolah. Bersama teman-temannya, Ton mendengarkan cerita hantu yang suatu hari dialaminya sendiri. Setelahnya, Ton sering sekali mendapat perhatian dari Pranee. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Pranee berlaku seperti itu? Siapakah teman-teman Ton? Mengapa Vizhien bisa mengerti mengenai masa lalu sekolah?

Drama Komedi Horor ini menceritakan kisah hidup yang jenaka dari Ton selama di asrama. Juga menjelaskan dengan kilas balik mengapa ayah Ton memasukkannya kedalam asrama yang tidak dia inginkan. Kesenangan demi kesenangan yang dialami Ton didalam asrama menurut gue cukup menggambarkan bahwa dia akhirnya senang dengan keputusan ini.

Ceritanya cukup menarik meskipun terkesan dipaksakan. Namun karena bergenre horor dan drama, nampaknya pemaksaan itupun cukup masuk diakal. Lihat saja bagaimana Ton bereaksi ke setiap kejadian horror yang terjadi. Kenekatan-kenekatan yang pasti ada hanya di film horror pun memang ga bisa dihindarin.

Aktingnya keren sih menurut gue, apalagi pemeran-pemeran pendukungnya maen dengan sangat ngalir. Dengan penggambaran seadanya, aktingnya untungnya tidak seadanya dan memberikan kesan yang cukup mendalam pada karakter masing-masing, seperti si bedak, ingus, dan anak pemilik toko coffin. Tentunya Ton juga sangat hebat, berakting duet dengan Vizhien baik saat Vizhien ada disana maupun tidak.

Adegan favorit gue yang pertama ada saat mereka semua ngangkat kaki dan nutup hidung. Kenyataan yang diberikan pada penonton disitu cukup meningkatkan hasrat untuk menonton karena awalannya sudah cukup bosen dan adegan horornya sedikit. Adegan drama favoritnya adalah adegan berfoto setelah karnaval yang cukup menggambarkan kesedihan yang terjadi di hati Vizhien.

Banyak kebodohan-kebodohan yang terjadi di film ini, bloopers, entah disengaja ataupun tidak disengaja. Sepanjang film yang paling terlihat adalah rambut Ton yang memanjang dan memendek secara tidak beraturan. Juga adegan-adegan sekolah malam yang cukup aneh, setidaknya untuk mata kita yang biasa sekolah siang waktu kecil.

Overall, film ini cukup bagus untuk ditonton, apalagi kalo emang penikmat film horror asia khususnya Thailand, karena tumbennya ini ngebawa suasana yang berbeda dari biasanya seperti pembalasan dendam, slasher, ataupun thriller. Dorm buat gue memberikan aroma persahabatan dan gelak tawa yang menggembirakan pada saatnya, dan cukup berhasil memberikan fenomena ketakutan pada penonton meskipun sebenarnya sedang tidak terjadi apa-apa. Tapi tentu saja itu semua berkat efek luar biasa dari scoring film setan asia.

Dare to hear the story?

Friday, July 9, 2010

Micmacs

Micmacs à tire-larigot, a truly artisan piece and mastermind, from the creator of Amelie!

(2009, Epithète Films, Jean-Pierre Jeunet. Dany Boon, Andre Dussollier, Nicolas Marie, Julie Ferrier. Comedy Crime 105 min)

Pour un film que de ne pas en plein essor, il souffle mon esprit lui-même (For one movie that not to booming, it blows up my mind itself). Dan maaf, gue pake google translate untuk bikin bahasa Prancis diatas. Toh Prancis kali ini tidak lolos ke perempat final piala dunia, mungkin benar kata teman saya bahwa “Prancis harus meng-kloning Zidane terlebih dahulu “ (Inu).

Sekilas tentang Prancis, negara yang indah dan nampaknya akan sulit buat gue untuk hidup disana, dimana makan banyak yang hambar, monotone, dan high-mannered. Tapi ternyata tidak begitu dengan film-filmnya. Salah satunya lihat saja Amelie (2001) dan Martyrs (2009) yang berhasil membuat gue terkagum-kagum dengan berbagai segi dari filmnya. Tentu saja keduanya punya sisi positif dan negatif yang berbeda. Namun tetep aja, gue punya kebahagiaan sendiri pas nontonnya.

Micmacs bercerita tentang Bazil (Dany Boon), penjaga toko DVD yang suatu hari tertembak oleh peluru nyasar, menyisakan penyakit dan peluru di kepala. Peluru di kepalanya merupakan senjata buatan sebuah perusahaan di Prancis. Saat kecil, ayah Bazil pun meninggal ditengah perang karena ranjau yang dibuat perusahaan saingan dari perusahaan pembuat peluru yang bersarang di kepala Bazil. Bersama kolega-koleganya yang memiliki kelebihan masing-masing, ia membalas dendam dengan cara yang sungguh-sungguh menarik dan otentik. Tidak biasa.

Ide cerita awalnya mungkin sudah ide yang terpikirkan jutaan filmmaker di dunia ini. Bukan sesuatu yang aneh bahwa seseorang akan membalaskan dendam atas kematian dan kemalangan yang menimpa dirinya. Namun seperti di Kick-Ass (2010), versi pembalasan dendam disini juga berbeda dari biasanya. Buat gue yang paling menarik dari awal adalah plotting dan karakterisasi yang diceritakan di sinopsisnya. Tidak menjelaskan filmnya dan memang harus ditonton dulu.

Genre kriminal yang disangkut-pautkan dengan komedi sudah sangat banyak, apalagi film-film kulit hitam Hollywood. Namun semuanya tetap saja mengisahkan drama pedih dibaliknya dan pembalasan dendam dengan kekonyolan yang seringnya rasis. Komedi kriminal di Micmacs memiliki jalan yang berbeda. Menurut gue inilah penyebab dia bisa stand-out dibanding film-film semacamnya.

Disutradarai, dibuat, dan diproduseri oleh Jean-Pierre Jeunet yang juga menyutradarai Amelie, film ini memiliki ciri yang sangat khas, sama seperti Amelie. Penonton yang seperti gue, yang pernah menonton Amelie juga, pasti sangat familiar dengan twisting cerita atau efek yang digunakan dalam film. Tentu saja ini merupakan titik kuat dari film-film JP Jeunet yang tidak banyak (Micmacs diproduksi hanya selang 1 film dari Amelie dengan kurun waktu 8 tahun).

Twist cerita yang banyak namun diceritakan secara padat dan cepat, juga pengenalan karakter yang solid, selalu mampu membuat gue terpana dan mengingat masing-masing karakternya serta pengembangannya. Seakan memang karakter-karakter itu hidup dan ada dalam dunia ini (mungkin memang ada sih). Seperti Calculette, Petit Pierre, Remington, dan sebagainya. Namun yang paling outstanding memang Bazil dan La Môme Caoutchouc (Julie Ferrier), atau elastic girl. Menurut gue dua orang ini punya emosi yang datar dalam film, namun mampu menarik perhatian sebegitu gede-nya ke gue. Lain halnya dengan duo boss perusahaan senjata, Marconi (Nicolas Marie) dan Fenouillet (Andre Dussolier). Tingkat emosional dan penggagahan karakternya sangat rumit dan tinggi, ketimbang Bazil yang dibikin oon dan Caoutchouc yang cukup lentur saja. Marconi sangat proud, tidak pedulian dan suka pamer, dengan Fenouillet yang suka mengoleksi benda-benda historical namun pelit, perhitungan, dan mudah panik.

Scoring dan lagu yang dipake di film ini cocok, sangat menyesuaikan dengan kondisi film dan alurnya. Mungkin ini juga ciri khas film Prancis dimana lagunya sendiri memang sudah khas, mendayu namun tegas. Pada ceritanya, klimaks di film ini bisa terjadi berkali-kali. Buat gue itu semua ada dari awal kecelakaan, prosesi penyusupan, dan semua cerita sabotase yang terjadi punya klimaksnya sendiri-sendiri. In a few words, I love all those part of the movie!

Gue gatau bagian mana yang mau gue cela. Kecuali dari segi cerita yang sebenernya biasa aja. Gue sendiri entah kenapa yakin kalo yang bikin adalah Hollywood dan sutradaranya bukan JP Jeunet, terus jadinya bukan film Prancis, film ini cuma akan jadi film hambar dengan rating ga sampe 5,5 di IMdB. Trust me, what worth it are the plot, the characteristic, and the seizure it gives you. Gue memberikan nilai tersendiri; 7,5 out of 10. Dan kalo kita mau menyisihkan cerita (bukan penceritaan) maka itu bisa gue naekin jadi 8,5 out of 10!

Whatever, you may experience different result, so why don’t you just watch it?

Since the start of the movie, I’m telling myself over and over again. This was work of a real artisan.

Thursday, June 24, 2010

Martyrs

Martyrs, they did not finish to be alive...

(2008, Canal Horizons, Pascal Laugier. Morjana Alaoui, Mylene Jampanoi, Catherine Begin. Slasher thriller 99 min)

Martyrs adalah film dengan rasio 1 : 10. Bukan perbandingan pixel seperti 16 : 9 tapi. For every 10 minutes of torture, there’s only one minute of rest. Makanya 1:10. Mungkin terasa lebay, tapi memang rasanya kalo disiksa itu terasa lama, dan ketika istirahat, terasanya sangat sebentar. Relative.

Martyrs bercerita tentang penyiksaan. Seorang gadis kecil yang disiksa berhasil melepaskan diri dari tempat penyiksaan dengan menyisakan luka batin yang amat dalam. Lucie (Mylene Jampanoi) mengalami trauma akannya dan sering didatangi makhluk menyeramkan yang ingin menyerangnya. Bersama Anna (Morjana Alaoui), Lucie dibesarkan di orphanage dan diberikan hidup yang normal. Ketika dewasa, Lucie membalas dendam kepada keluarga yang katanya menyiksa dia waktu kecil dan minta bantuan kepada Anna. Setelah itu, ia menemukan misteri dibalik penyiksaan-penyiksaan yang ia lalui.

Inti film ini adalah torture, penyiksaan. Tapi mungkin Martyrs adalah salah satu dari sekian banyak film thiller yang membawa sebab-akibat yang jelas di awal dan di akhir. Sadistis dan gila, memang. Namun setelah dipikir-pikir melalui akal sehat, semuanya akan mulai masuk akal.

Thrill di film ini dimulai sejak 10 menit pertama film ini dimulai. Tidak menggunakan terlalu banyak introduksi dan karakter, dan tidak banyak basa-basi. Banyak sekali darah tertumpah di film ini sejak awal. Banyak juga bagian dalam tubuh yang terekspos mulai kulit sampai dalamnya.

Film ini sangatlah memuakkan bagi yang tidak kuat darah, namun mungkin untuk beberapa orang yang cukup psycho, memiliki sedikit kelainan kejiwaan, film ini sangatlah enjoyable. Untuk pecinta serial Saw mungkin.

Alur filmnya cukup membingungkan, meski kita bisa membedakan yang mana ketika sedang flashback dan mana yang bukan. Meski memberikan fakta-fakta menarik tentang masa lalu Lucie, terkadang flashbacknya cukup tidak jelas apa bentukannya.

Soal pemain, mungkin penghargaan akan gue kasih buat pemain Lucie dan Anna. Mereka berdua memainkan kedua peran ini dengan sangat bagus. Teriakan demi teriakan, sayatan demi sayatan, derita demi derita, sangat gue terima dalam-dalam. Apalagi ketika pisau dan dinding menghujam tubuhnya. Apalagi ketika ia melakukannya sendiri.

Mungkin sedikit keanehan terletak pada inti filmnya. Inti cerita martyrs hanya terletak pada 30 menit terakhir saja. Satu jam di awal lebih banyak pada penyiksaan dan penyiksaan saja. Namun hebatnya, semuanya terungkap dalam 30 menit itu. Resolusi demi resolusi tercapai sampai klimaksnya terjadi di ending.

Secara keseluruhan, martyrs sangat patut ditonton untuk pecinta darah dan penyiksaan. Memberikan thrill dan knowledge yang berbeda dari film-film thriller lainnya dari psikopat ataupun pembalasan dendam. It got my own 8 out of 10!

Nampaknya saja juga termasuk psikopat yang suka film seperti ini