Tuesday, December 29, 2009

Zombieland



Zombieland, This place is so dead.

(2009, Columbia Pictures, Ruben Fleischer. Jesse Eisenberg, Woody Harrelson, Emma Stone, Abigail Breslin. Comedy Horror 88 min)

There are rules to survival. And “DO NOT be a hero” is one rule to survive in Zombieland. Film ini membuat gue terpana sejak gue liat opening titlingnya (atau memang cuma itu yang membuat gue terpana?). Zombieland itu, film horor yang komedi, atau komedi yang horor, atau horror yang lucu, atau thriller yang horror yang komedi. Atau yang paling mungkin adalah komedi sarkastik dan gory yang disajikan dengan nuansa horror yang terrific. Zombieland bukan horror kacangan yang menjual kepornoan atau brutalitas dengan menjadi slapstick maksa.

Ya, film horror ini brutal, brutal dengan caranya sendiri. Darah (atau oli?) dimana-mana, usus berkeliaran, dan adegan kekerasan yang jelas saja gaboleh ditiru bocah-bocah kecil dirumah. Tapi dari segi filmmaker, zombieland bener-bener memanfaatkan teknologi art dan sinematografi yang terrific. Mungkin slow-mo yang digunakan di titlingnya ngga se-ngefek slow motion titling watchmen (2009), tapi menurut gue slowmotion nya sangat cool dan juga they had their own way to express brutality on everyday activity! Tapi sayangnya itu cuma ada di opening sama beberapa scene di awal, sisanya adalah klimaks, istirahat, klimaks dengan adegan-adegan yang penuh aksi dan komedi selayaknya film horror.

Oh, Zombieland bercerita tentang survival of Columbus (Jesse Eisenberg), remaja gamer-geek yang ansos di U.S of Zombieland (yang tadinya USA) bersama Tallahassee (Woody Harrelson), barbaric-tough-guy yang ia temui di jalan dan dua orang lainnya, Wichita (Emma Stone) dan Little Rock (yang tentu saja dimainkan oleh Abigail Breslin -definitely maybe, little miss sunshine-, dimana gue ga sadar kalo dia main di film ini karena di cover dvd yang gue tonton cuma ada Jesse, Woody dan Emma. Gaada Abigail. Gimana bisa?). Itu saja, simpel. Just another movie about how to survive in some situation called zombie-alert. And that is by following those #1 - #32 zombieland’s rules of survival. (nggak semua rules dimunculkan di film sih).

Mungkin akting Jesse Eisenberg biasa aja, hanya taraf good enough to be a main actor. Tapi gue rasa disini akting Woody Harrelson dan (tentu saja) Abigail Breslin sangat luar biasa! Bagaimana mereka bisa memunculkan sisi-sisi yang physically bukan mereka banget (meski ini yang biasa mereka lakukan di film-film lain mereka). Sayangnya, Emma Stone hanyalah tipe cewek yang slurp slurp untuk gue lihat, aktingnya biasa aja juga. Tapi yaa, kombinasi empat orang itu berhasil bikin gue nyaris ketawa terbahak-bahak (masih lebih ngakak doghouse (2009)) karena banyolan-banyolan orang amerika yang cukup segar dan rada mudah dimengerti buat gue.

Gue sangat suka adegan-adegan dimana rules dalam zombieland’s survival ini berkali-kali ditekankan. Karena adegannya selalu berulang dengan penekanan yang berbeda-beda, antara pistol dan tutup pispot. Oh, juga ketika Wichita mabuk sama Columbus di safehouse. It’s really seducing. Haha, tapi kalo ini purely Efek aktrisnya, bukan efek adegan atau efek aktingnya. Disamping itu, twist yang sama berulang kali digunakan dalam film ini, namun sama seperti penekanan rules, caranya berbeda. Meski berulangkali hanya diisi lawakan amrik dan kekerasan yang mungkin lucu-lucu aja, zombieland tetep laughable buat gue.

There are rules to survival. And to survive zombieland, is to laugh on watching it. So, knock it up or shut up and sleep!


Sebenernya gue pengen "survival rule #4 : don't be a hero" jadi poster untuk zombieland ini, tapi ternyata dari IMDB gabisa di copy link! haha

Update : Gue menemukan posternya, dan menggantinya! haha

Thursday, December 24, 2009

Cloudy and the Chance of Meatballs




Cloudy and the Chance of Meatballs, lluvia de hamburguesas, il pleut des hamburgers...

(2009, Sony Pictures Animation, Phil Lord & Chris Miller. Bill Hader, Anna Faris, James Caan, Earl Devereaux. Animation 90 min)

Geeks geeks geeks! Haha gue suka banget menertawakan geeks. Kenapa? Been there, done that. Flint Lockwood (Bill Hader) adalah seorang geek yang jenius dan sudah jadi penemu sejak kecil. Ia punya suatu yang orang lain ga punya, dan cuma karena berbeda dan ga biasa, penemuannya malah diejek dan dia sendiri dikucilkan. Yah, standar penemu lah. Yang ngga standar disini ialah penemuannya. FOOD! I love food! Who doesn’t? Pray not to die so soon. Makanan adalah karunia keindah tertiga setelah hidup dan udara. Dan di film ini Flint menemukan sebuah mesin yang dapat menciptakan makanan dari perubahan molekular air.

Sebelum nonton, gue kira film ini bercerita tentang seorang penemu bernama Cloudy yang menemukan alat pencipta daging bulat yang besar (sesuai judulnya), namun ternyata jauh lebih enak dari itu. Phil Lord & Chris Miller gue rasa mencoba menggabungkan ke-sains-sains-an kedalah sebuah film animasi yang ternyata bisa bikin gue enjoy menontonnya. Sedikit romance, banyak komedi, dan secuplik horror (oh iya, makanan raksasa itu horror. Enak, tapi horror.) di remix seperti paduan adonan makanan yang jadinya enak di mulut, tapi ini enak di mata karena ini film bukan makanan.

Cerah dan colourful, penuh warna. Itu yang muncul banget di film ini. Suasana kota kecilnya yang terasa warm kegambar dengan interaksi-interaksi yang muncul dari karakter-karakter di film ini. Bayangkanlah seorang ayah, Earl Devereaux (The A-Team’s Mr. T!!!) yang menyayangi anaknya dan ingin membahagiakannya, dan mendapatkan kasih sayang balik dari anaknya Cal. Tapi ga begitu dengan Tim Lockwood (James Caan), bapak dari Flint. Kisah cinta Flint dengan Sam Sparks (Anna Faris) terlihat biasa, tapi terbungkus dengan kesan geeky dan childish membuat gue tertawa-tawa sendiri ketika nonton. Adegan Jell-o (dan sebenarnya hampir seluruh adegan yang berhubungan dengan makanan) sangat membuat gue berharap di dunia nyata bisa kejadian kaya gitu.

Bisa dibilang, cerita di film ini ketebak. Tapi menurut gue film ini bukan tipe film yang ceritanya butuh ditebak, karena emang alurnya ngalir begitu aja. Mau ditebak mau ngga, hasilnya akan sama aja dan bikin kita suka dengan film ini ataupun isinya. Jadi jangan khawatir kalo mau nonton, niscaya kita gaakan dibikin bete sama ceritanya atau gambar-gambarnya. Yang ada : ngiler *drool*. Dan lagi film ini durasinya ngga panjang dan ngga pendek, cukup untuk feature film, 90 menit.

Cloudy and the Chance of Meatballs adalah film yang gue harap diproduksi ulang kalo udah muncul teknologi 4D atau 5D, dimana rasa udah masuk ke dalam sensasi dimensi bioskop. Jadinya kenyangnya bisa pol. Tapi mungkin bayarnya 500ribu sendiri untuk nonton di bioskop seperti itu.

I want to run away that day, but you can’t run away from your own feet. Cloudy and the Chance of Meatballs is an enjoyable movie, especially for you who are cinema-lover and food-lover! This is like eating a package of Big-Mac and Large French Fries!

Viva la Food-a!

Wednesday, December 23, 2009

World's Greatest Dad


World’s Greatest Dad, Lance Clayton is about to get everything he deserves...

(2009, Darko Entertainment, Bobcat Goldthwait. Robin Williams, Daryl Sabara, Alexie Gilmore, Evan Martin. Drama 99 min)

Tidak ada antisipasi dalam menonton film ini. Dari judulnya World’s Greatest Dad ditebak-tebak kalo ada seorang ayah yang bikin anaknya bangga dengan prestasinya, atau anak yang parah tapi punya ayah yang sangat penyayang dan merubah hidup anaknya.

Lancelot Clayton (Robin Williams) adalah seorang guru sastra yang memiliki profesi sampingan sebagai penulis. World’s Greatest Dad bercerita tentang problematika yang dihadapi Lance dalam profesi kerjanya sebagai guru yang terlibat hubungan personal dengan guru lain Claire Reed (Alexie Gilmore), hobi menulisnya yang tak kunjung membuahkan hasil, dan yang paling utama ialah masalahnya dengan anaknya sendiri, Kyle Clayton (Daryl Sabara) yang bersekolah di tempat yang sama Lance menjadi guru.

Jenius dan brilian. Itu yang gue dapet ketika nonton film ini. Cerita yang sungguh-sungguh membosankan di awal karena seperti drama remaja mulai menjadi twist ketika dibeberkan mengenai personal detail dari masing-masing karakter. Terus menggebu-gebu serta menyakitkan hati ketika twist selanjutnya dimulai setelah terlantunnya melodi “it’s only love, it’s only love”. Gaada plotting yang berlebihan, gaada mengistimewakan sebuah gambar, gaada mengistimewakan suara, semuanya hanyalah sekedar cukup. Dimana pada akhirnya memang segala ke-apa adanya-an ini ngebikin suasana menonton yang bener-bener mendebarkan dan, sekali lagi, menyakitkan hati.

Dalam durasi 99 menit ini, gue dibuat naik turun diatas kursi, dimana didalam hati membatin “why, God? Why? What’s wrong from this and what’s right from this?” dan lagi “HOW?” Disini Bobcat Goldthwait sebagai sutradara berhasil membuat sosok Robin sebagai bapak yang bener-bener nrimo aja. Hanya usaha sekedarnya tapi ekspektasinya banyak. Dan ketika sesuatu terjadi, dia bener-bener get everything he deserves, karena memang semuanya itu berhak dan “berhak” ia dapetin.

Tetapi tetep aja fakta bahwa sebenarnya Kyle, seseorang yang segitu parah dan nol-nya bisa berubah dan berada dalam kondisi sebaliknya dari semua orang karena perbuatan Lance, ayahnya. Ini bener-bener membuktikan bahwa whoever wins the war, he made the history, no matter who’s right or wrong.

Gue paling suka adegan penyebab segalanya berubah, dan efek dari perubahan-perubahan itu. Begitu juga dengan karakter Andrew Troutman (Evan Martin) yang munculnya sedikit-sedikit tapi membawa pengaruh besar pada dua karakter di film ini, Lance dan Kyle. Andai saja karakter Andrew ini gaada, pastinya cerita film ini gaakan bisa memiliki ending yang terjadi.

Ketika gue nonton gue bener-bener bertanya-tanya dengan logika benar-salah di gue, dan memang ekspektasi gue tersampaikan pada akhirnya. Meski gue ga yakin kalo orang lain nonton ini merasakan perasaan yang sama kaya gue atau berpikiran hal yang sama, tapi gue yakin kalo emang film ini bisa sedikit banyak membawa sebuah perubahan kecil pada diri kita.

Being lonely and being alone is different, but you’ll only know how it feels when you experienced both. Sesak, dan sama sekali tidak heartwarming. Tapi film ini dapet 9 out of 10 from me. Tonton film ini bila kamu ingin berani untuk mengakui kesalahan, apapun itu.

Sang Pemimpi




Sang Pemimpi, berteriaklah hai sang pemimpi, kita takkan berhenti disini...

(2009, Miles Films & Mizan Productions, Riri Riza. Lukman Sardi, Vikri Setiawan, Ahmad Syaifullah, Azwir Fitrianto. Drama 120 min)

This movie is a sequel to “Laskar Pelangi”, and I take that a sequel is-usually-not better than the first movie. Namun perlahan-lahan pemikiran tersebut pun sirna. Mulai muncul kata-kata “sang pemimpi bagus kok”, “better than laskar pelangi!”, “gue ngantuk pas nonton LP, tapi nonton ini gue enjoy-enjoy aja”. Dan setelah selesai menonton filmnya, oke. Gue suka film ini.

Sang pemimpi masih bercerita tentang Ikal (Lukman Sardi) yang bercerita tentang masa lalunya dari kecil (Zulfanny) setelah cerita Laskar Pelangi hingga remaja (diperankan oleh Vikri Setiawan). Di film Laskar Pelangi diceritakan di akhir bahwa Ikal telah kembali dari Sorbonne, Prancis ke pulau Belitung dan bertemu dengan sahabat kecilnya, Lintang. Namun memang jeda antara Ikal kecil dan saat itu sangat besar. Tapi memang tampaknya Tetralogi ini memuat itu semua. Ikal ditemani Arai (Ahmad Syaifullah)-saudara Ikal yang kehilangan ayahnya dan akhirnya tinggal bersama Ikal- dan Jimbron (Azwir Fitrianto)adalah tiga remaja yang memiliki mimpi yang tinggi dan usaha untuk mencapainya. Ketiganya jelas menghadapi rintangan yang berbagai macam, baik personal dan bersama, dengan Arai sebagai pusatnya, yang menjadi inti dari film ini, sebagai Sang Pemimpi.

Ceritanya menyentuh, karena memang cerita ini dibuat se-membumi mungkin. Plotting naratif yang khas seperti di Laskar Pelangi membuat cerita ini seakan-akan mengalir tanpa jeda. Gue bener-bener mengerti cerita dari Sang Pemimpi ini. Dari review-review yang udah gue baca dan sumbernya dari orang yang pernah baca novelnya, film Sang Pemimpi nyaris tidak mengecewakan sama sekali, cenderung lebih banyak mendekati ekspektasi.

Kesedihan dan kegembiraannya terasa, karena akting yang ekspresif, aktual dan mantap dari aktor-aktor muda berbakat yang memainkan pemeran ketika remaja. Pendalaman ketiga karakternya sangat mempengaruhi cerita yang masuk ke dalam otak gue. Mulai dari Jimbron yang gagap dari ngomong sampe kelakuan tapi mulai lancar kalau berhubungan sama Laksmi, sampai Arai yang bener-bener ngga pernah kehilangan keyakinan dalam berimpian serta Ikal yang terus memiliki keraguan dalam hatinya tentang hidup.

Dengan setting Indonesia tahun 80-90-an, Sang Pemimpi menurut gue bisa ngebawa gue berada dalam dunia pada waktu itu. Dimana rasanya kendaraan sulit, teknologi masih susah, dan kebodohan masih benar-benar merajalela. Pengkarakteran yang stabil dalam film ini (kecuali ketika Arai dimainkan oleh Ariel) bikin kita ngga merasa aneh dengan pergantian pemain untuk karakter yang sama. Solid. Kelakar-kelakar yang mungkin lokal dan Indonesia banget, juga banyak mengena dalam film ini.

Adegan favorit gue di film ini adalah ketika bapak dan ibu Ikal menerima surat di akhir, ketika akhirnya gue sadar ternyata ada sesuatu di karakter si bapak sampai akhirnya harus ibu-lah yang membaca surat. Juga ketika Ikal menyusuri ladang ilalang untuk menyusul ayah juara satu di dunia. Adegan itu bikin hati gue sesek karena *curcol* gue masih terus mengecewakan orang tua dengan hasil kuliah. Mudah-mudahan berubah.

Masa muda adalah masa yang berapi-api, kata Rhoma Irama. Sang Pemimpi berhasil membawakan sosok pemuda Indonesia yang mau bermimpi dan berani mewujudkan mimpinya sekuat tenaga dan usaha, yang meskipun sempat mengenal lelah, tetapi akhirnya tidak mengenal kata berhenti. Sang Pemimpi was one of my Indonesian’s Favourite, it got 8,5 out of 10!

James Cameron's Avatar


Avatar, an all new world awaits...

(2009, Twentieth Century-Fox, James Cameron. Sam Worthington, Zoe Saldana, Sigourney Weaver, Stephen Lang. Mix CGI Animation 162 min)

Oke, gue senang banget bisa nonton avatar. Tidak ada ekspektasi sama sekali sebelum nonton film ini. Hanya merasa bahwa “film ini akan bagus, yah at least standarnya James Cameron”, dan ternyata setelah mengalami berbagai macam siksaan di dalam bioskop, gue berubah pikiran. Film ini bagus.

Avatar didukung oleh teknologi luarbinasa canggih yang masih akan sangat lama sekali untuk bisa gue sentuh dalam film-making, real-like CGI animation dan RealD))3D. Keduanya sangat mendukung aspek dalam pembuatan dan pemutaran Avatar ini. Tanpa keduanya, film ini hanyalah film animasi biasa yang hanya masuk dalam standarisasi “cukup”, sama seperti kalo nonton Battle for Terra (2007).

Untuk yang belum tau, Avatar bercerita tentang perebutan sebuah tempat di sebuah planet, antara alien dan penghuni asli tempat itu. Antara Human dan bangsa Na’vi. Pemerannya adalah Jake Sully (Sam Worthington), marinir yang cacat namun beruntung untuk mengikuti sebuah program yang dinamakan avatar, dimana ini adalah program untuk menjadi bagian dari Na’vi itu sendiri. Jake bertemu dengan seorang putri Na’vi, Neytiri (Zoe Saldana) dan akhirnya menemui pilihan sulit, yang sekali lagi, kita akan bisa menebak apa yang dipilih oleh Jake.

Cerita di Avatar sungguh tidak terlalu luar biasa, banyak sekali plotting yang mudah ditebak. Yang luar biasa adalah gimana James Cameron berhasil memutarbalikkan hampir segalanya, membuat gue nganga-nganga “WAW” di banyak adegan, seperti film-film terdulunya juga, Terminator dan Titanic. Disini, Human-lah yang menjadi alien (sky people) bagi para Na’vi, penduduk asli dari Pandora. Dimana biasanya dalam film kita dibawa merasakan penderitaan terinvasi, sekarang kita menginvasi, dengan ga melupakan bahwa Na’vi yang sama sekali belom familiar dengan kita dapat dimasukkan dengan baik bahwa Na’vi memanglah penduduk pandora.

Penggambaran Pandora yang sangat imajinatif sekali, dan indah dipandang mata, bikin gue sendiri berimajinasi bagaimana rasanya kalo emang pandora jungle itu bisa ada. Gimana dunia dalam avatar adalah bumi yang sangat tidak berkeperibumian, hutan yang hidup, hewan superbesar, dan kondisi yang aneh serta absurd namun indah. Juga bagaimana Cameron berhasil masukin perasaan-perasaan manusia secara instinctive kedalam pergerakan dan adegan untuk manusia dan Na’vi itu sendiri. Dimana kita bakal dibikin ngerasa bahwa Na’vi juga manusia-manusia juga, tapi manusia ya manusia, kita harus memikirkan gimana kontinuitas hidup ras kita, tapi Na’vi juga begitu.

Yang gue bayangin setelah nonton film ini adalah gimana kalo avatar dibikin dengan cg 3d biasa, atau malah anime 2 dimensi. Yang terbayang adalah tidur selama 2 jam di bioskop. Tapi ternyata James dan tim nya berhasil menggabungkan antara orang beneran dengan CGI yang superb banget, jadi gue ngerasa mata ini bener-bener dimanjain. Ditambah gue nontonnya yang versi RealD 3D. Tapi sayangnya 3D nya itu mulai sia-sia di tengah-tengah film. Tapi Avatar bener-bener bikin sakit mata dan rahang. Karena seringnya mata dikucek dan mangapnya mulut gara-gara susah percaya gambarnya bagus.

Ada beberapa adegan yang menurut gue ga enak untuk ditonton. Haha. Tapi itu hanya pendapat gue dan beberapa orang yang nonton bareng gue sih, mungkin yang laen fine-fine aja dengan adegan-adegan biru itu. Atau justru suka, gue gatau deh.

Sayangnya disini kebudayaan Na’vi masih kurang diexplore. Tampaknya ini adalah mixture antara budaya Indian dan native menurut cerita game RPG. Masih terasa banget dominan indiannya, padahal mungkin kalo Na’vi dibuat lebih eksotis lagi, mungkin berdasar suku primitif indonesia, filmnya akan lebih variatif dan menaril. Tapi ga berarti ini kurang, ya cuma masuk taraf cukup.

Bagian-bagian yang buat gue menarik tuh eksplorasi pandora, learning on being Na’vi, terus WAR! Perangnya ngga ngebosenin dan monoton, justru cenderung memanfaatkan apapun yang ada dan ngga hanya mengandalkan teknologi CG biar adegannya keren aja. Oh iya ada juga adegan dimana para Na’vi seperti menari, dan tariannya setipe dengan salah satu gerakan dari tari Kecak! Gaul banget emang tari kecak, setelah The Fall, Avatar pun terinspirasi dari situ. (atau nggak?)

Overall, Avatar is a very enjoyable movie! Except for the uneasiness for using the 3D glasses, it was more than just cool. It’s briliantly cool! For me, with 9,5 for visual; 9 for scoring; 8 for story; 7 for plot; Avatar got 8,5 out of 10!

A Christmas Carol


A Christmas Carol

(2009, Walt Disney Pictures, Robert Zemeckis. Jim Carrey. Animation 98 minutes)

Sebelom nonton, gue hanya tau film ini dari saran temen-temen gue yang bilang film ini bagus. Oke, ketika memutuskan untuk menontonnya, gue hanya liat dari cover yang ada dari blitz. Hanya berpikir kalau ini adalah film natal hollywood yang seperti biasanya menghangatkan hati dengan drama keluarga. A Christmas Carol adalah film animasi, ternyata! *kalau ini memang gue yang bego*.

Ebenezer Scrooge. Hal-hal yang timbul di pikiran gue pertama kali ketika mendengar nama ini adalah Gober Bebek (or Uncle Scrooge in english) . Kaya, kikir, pelit, dan semacamnya. Dan memang, Ebenezer Scrooge ialah orang kaya yang pelit dan tidak peduli akan hari natal dan segala nilainya *macam gue tau aja apa nilainya*.

Dari awal kita bisa menebak cerita film ini, bahkan ini adalah sebuah cerita yang memang sudah tenar dimana-mana. Namun cerita klise ini lagi-lagi dikemas dengan alur semi-flashback yang sangat saya suka, dimana semua deskripsi mengenai apa siapa dan mengapa untuk karakter Ebenezer dan lainnya, seperti kenapa Ebenezer menjadi kikir dan hubungannya dengan seorang wanita yang ia temui waktu muda, dan apa yang membuat Ebenezer menjadi kehilangan semangat natalnya.

Awalnya gue ga nyangka kalo ini film animasi, karena memang animasinya mendekati real, mungkin lebih bagus dari film animasi Beowulf. Didukung dengan sinematografi yang mendukung, Robert Zemeckis si sutradara film ini ngebuat penonton seperti masuk kedalam filmnya karena alurnya cukup cepat dan mudah dimengerti meskipun semi-flashback. Karena biasanya flashback mengandung penjelasan-penjelasan dari adegan yang sudah ada. Meskipun ini film animasi buatan Disney, tapi ternyata setelah ditonton ini bukan konsumsi untuk anak-anak. Banyak adegan yang cukup serem dan ngga bagus, kaya munculnya spirits of christmas.

Banyak adegan-adegan ga penting dan menggelitik yang sebenernya penting dan menjadi koneksi antara cerita satu dengan lainnya, seperti ketika Ebenezer dikejar-kejar oleh salah satu spirit, atau melihat anak kecil yang bergantung di belakang kereta kuda.

Salah satu fakta yang saya shock adalah, pengisi suaranya dari orang-orang pentingnya Jim Carrey semua! Mungkin karena itulah dari awal cerita saya menebak-nebak, jadi siapa sih Jim Carrey? Jadi Ebenezer mungkin, tapi ga kedengeran khasnya Jim Carrey yang suka nyeleneh, atau yang lain? *ini salah satu efek menonton dan ga baca review atau liat referensi sama sekali*

Intinya, A Christmas Carol adalah sebuah kisah tentang natal yang sebenarnya tidak terlalu mengedepankan tradisi ke-natal-an, seperti sinterklas, berdoa, dan semacamnya. Tetapi banyak sekali hal-hal yang bisa kita dapat dari menonton film ini, pentingnya berbagi, kebersamaan, menolong sesama, dan semangat natal itu sendiri *yang gue juga kurang mengerti* yang justru kita dapet setelah nonton film ini. Jatuhnya lebih universal daripada judul A Christmas Carol itu sendiri. It’s not preferably enjoyable by some people, it should be enjoyable for everyone, even the one who don’t celebrate christmas itself. Enjoy!

Mary and Max



Mary and Max, sometimes perfect strangers make the best friend...

(2009, Melodrama Pictures, Adam Elliot. Toni Collette, Philip Seymour Hoffman, Eric Bana. Claymation 80 min)

Mary and Max. Dua hal yang membuat saya tertarik menonton film ini ialah Claymation dan Drama. Kenapa drama? bukankah sudah sangat klise? Karena jarang sekali ada film drama dibuat dengan claymation, karena itu saya ingin menontonnya, meski judulnya bahkan tidak menarik, hanya dua buah nama yang sangat biasa saja, Mary dan Max, seperti juga Nick and Norah atau Zack and Miri, tapi tanpa embel-embel apa-apa.

Film ini menceritakan tentang kehidupan dua orang yang "nyentrik dan tidak menarik", namun Adam Elliot sang sutradara berhasil membuat kehidupan yang tidak menarik itu menjadi cerita yang sangat superb dengan menghubungkan keduanya.

Meet Mary (Toni Collette), seorang gadis di Melbourne, Australia yang berumur 8 tahun dan biasa banget, gendut, bahan bully temen sekolah, dan ga punya temen. Mary suka menonton "The Noblits" sambil makan coklat dan minum sekaleng susu demi menghabiskan harinya sendirian. Kebosanan dalam sehari-hari Mary dan keingintahuannya akan sesuatu hal membuatnya ngerandom nama orang di buku telepon New York.

Meet Max (Philip Seymour Hoffman), pria separuh baya yang tinggal di New York. Dia seorang yahudi-atheis yang super gendut karena obesitas, dan dia juga menghabiskan hari-harinya menonton "The Noblits" sambil makan hotdog dari coklat buatannya sembari memikirkan tiga keinginannya dalam hidup.

Mary meet Max, tetapi hanya dalam kata-kata. Max adalah orang yang dirandom Mary untuk dikirim surat olehnya, dan cerita pun berlanjut pada curahan hati keduanya tentang hidupnya masing-masing. Dua orang yang setipe, namun terpaut jauh dari usia dan jarak, membuat curahan hati dari tiap surat-surat yang mereka kirim sangatlah bermakna untuk satu orang lainnya.

Tahun demi tahun berlalu dan banyak kejadian yang terjadi, Max ternyata divonis menderita Sindrom Asperger, dan Mary akhirnya menjadi wanita yang ingin menyembuhkan Sindrom Asperger Max. Namun suatu ketika hal yang tak diinginkan oleh Max terjadi yang mengubah segalanya.

Secara pribadi, saya sangat suka dengan warna film ini. Mungkin juga karena didukung dengan metode claymation-yang membuat film ini diproduksi selama 5 tahun-membuat apapun yang diinginkan oleh sang sutradara dapat terkabul. Australia yang digambarkan dengan berwarna namun hening, dan New York yang kalang kabut dengan monokrom hitam-putih.

Cerita Mary and Max benar-benar berkutat pada hidup mereka berdua. Namun secara ajaib Adam Elliot berhasil membuat saya terpaku selama satu setengah jam tanpa terasa dalam menonton film ini. Rasa senang, sedih, gembira dan haru bercampur aduk ketika menonton film ini. Film ini sangat memainkan emosi penonton, kita akan dibuat takjub karenanya. Sebuah cerita persahabatan yang dibungkus begitu indah dengan melodi-melodi yang mengiris hati.

Mary and Max adalah salah satu film terbaik di tahun 2009 ini. Karena itulah saya menyarankan, siapapun Anda, tontonlah Mary and Max karena film ini akan membuka mata Anda. Bahwa di dunia ini, kesulitan dan kebahagiaan dapat kita share dengan orang lain untuk mendapatkan kebahagiaan lebih.